Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi XI DPR RI, Kemal Stamboel, mengatakan, salah satu agenda rapat kerja Komisi XI dengan Gubernur Bank Indonesia (BI), Senin, adalah penjelasan kenaikan BI Rate dan dampaknya terhadap anggaran kebijakan BI serta perekonomian nasional.

Dalam siaran pers Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) DPR yang diterima ANTARA di Jakarta, Senin, Kemal Stamboel mengatakan, Komisi XI akan meminta penjelasan rasionalitas di balik kebijakan menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 6,75 persen.

"Apakah akan meningkatkan secara signifikan defisit BI, karena peningkatan biaya bunga ini. Kita akan meminta penjelasan seberapa besar dampak peningkatan biaya tersebut dalam proyeksi BI," ujar anggota Fraksi PKS DPR itu.

Kemal juga menjelaskan bahwa defisit BI yang besar terutama diakibatkan oleh pengeluaran kebijakan yang sangat besar. Dalam pengeluaran kebijakan, beban pengendalian moneter merupakan beban terbesar, dengan kontributor terbesar adalah dari beban operasi pasar terbuka (OPT), terutama dari instrumen Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Fasilitas Simpanan Bank Indonesia (FASBI). Ditambah dengan biaya kerugian kurs, akibat intervensi stabilisasi nilai tukar.

Sebagaimana diketahui, DPR melalui Komisi XI akhir tahun 2010 telah mengesahkan Anggaran Tahunan Bank Indonesia (ATBI) periode 2011, di mana Komisi XI telah memberikan persetujuan referensi plafon untuk anggaran kebijakan sesuai dengan pengajuan BI mengalami defisit Rp45 triliun dan anggaran operasional surplus sebesar Rp17,35 triliun.

Tetapi khusus untuk anggaran kebijakan, Komisi XI memberikan syarat dimana bank sentral harus melaporkan realisasi penggunaan anggaran per triwulan dan dilakukan pembahasan.

Menurut Kemal Stamboel, kebijakan menaikkan suku bunga itu akan mendorong kelebihan likuiditas domestik untuk ditempatkan di SBI. Demikian juga investor asing akan cenderung menempatkan dana ke situ dan dampaknya beban biayanya tentunya akan semakin besar.

Kemal Stamboel menjelaskan bahwa potensi arus modal masuk masih cukup besar karena kebijakan bunga rendah di negara maju seperti AS, Eropa, dan Jepang, masih akan terus berlangsung. Hal ini menyebabkan banyak likuiditas global yang tersedia yang akan mencari tingkat keuntungan (return) yang lebih tinggi.

Akibatnya, katanya, arus modal tetap berpotensi mengalir deras ke "emerging markets" (EM), terutama Indonesia. Hal ini juga ditopang oleh kepercayaan terhadap perekonomian Indonesia, seiring dengan terjaganya kondisi makroekonomi domestik yang semakin kondusif.

"Investasi pada instrumen jangka pendek di Indonesia saat ini memang sangat menarik. Imbal hasilnya tinggi, dan risikonya rendah. Suku bunga SBI tenor tiga bulan lebih tinggi sekitar 6 persen dibandingkan suku bunga dolar AS di pasar uang antarbank di London (Libor). Hal ini juga ditopang oleh risiko pergerakan nilai tukar rupiah sangat kecil akibat intervensi pasar yang kuat oleh bank sentral. Tidak mengherankan jika kepemilikan asing atas SBI tetap tinggi walaupun pada bulan Juni 2010 BI membuat aturan `holding period` selama satu bulan," ujarnya.

Kemal menambahkan, operasi moneter untuk menyerap kelebihan likudiitas domestik yang besar sebenarnya memiliki "snowballing effect", karena sebagian besar jumlah instrumen moneter yang jatuh waktu terus ditempatkan kembali oleh perbankan ke BI.

Hal inilah yang menyebabkan biaya operasi moneter terus meningkat, dari sekitar Rp 17 triliun pada 2005 menjadi Rp25 triliun pada 2009, dan diperkirakan mencapai Rp30 triliun pada 2010 dan diproyeksikan sekitar 45 triliun pada 2011.

Terkait dengan dampak pada perekonomian nasional, Kemal tetap mengkhawatirkan kenaikan suku bunga akan berpotensi menyebabkan meningkatnya kenaikan suku bunga kredit dan akan meningkatkan biaya modal usaha.

"Saat sebelum kenaikan, suku bunga kredit sudah sangat tinggi, apalagi kredit mikro. Apalagi kalau naik lagi. Kalau hal ini terjadi, maka beban dunia usaha akan semakin berat dan akan kehilangan daya saing. Kita khawatir, dampak lanjutannya ekspansi dunia usaha akan tertahan dan gejala deindustrialisasi akan semakin parah. Dampak akhirnya, mudah ditebak, lapangan kerja menjadi terbatas," tandasnya.

Kemal kembali mengingatkan agar Bank Sentral dan Pemerintah perlu membuat langkah-langkah lanjutan untuk mendorong agar perbankan nasional tidak langsung merespons dengan menaikkan suku bunga kredit.  (A041/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011