Jakarta (ANTARA News) - Sri Sultan Hamengku Buwono X menyampaikan sembilan catatan penting terkait Rancangan Undang Undang Keistimewaan (RUUK) Yogyakarta dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR RI di Gedung DPR RI di Jakarta, Selasa.

"Dengan sembilan catatan ini saya harapkan semoga bisa menjadi sinyal agar pembahasan RUU Keistimewaan Yogyakarta dan berjalan maksimal untuk kepentingan masyarakat Indonesia, khususnya Daerah Istimewa Yogyakarta," kata Sri Sultan Hamengku Buwono.

Sultan menjelaskan, hal-hal yang lebih mendetail dari sembilan catatan tersebut telah disusun ke dalam daftar isian masalah secara tertulis beserta usulan penyempurnaan RUU Keistimewaan Yogyakarta, segera disampaikan kepada pimpinan Komisi II DPR RI.

Kesembilan catatan itu meliputi, pertama, RUU Keistimewaan Yogyakarta dinilai tidak tepat karena tidak merujuk pada pasal 18B UUD 1945 dan tidak sesuai dengan UU No.3/1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kedua, dalam konsideran menimbang tidak dicantukmkan dasar filsafat Pancasila yang semestinya menjiwai seluruh produk perundang-undangan.

Ketiga, penggunaan nomenklatur gubernur utama dan wakil gubernur utama bertentangan dengan UUD 1945 yang mengamanahkan kepala daerah provinsi adalah gubernur.

Keempat, penggunaan nomenklatur gubernur utama dan wakil gubernur utama mengandung risiko hukum yang sangat besar bagi eksistensi keistimewaan daerah Istimewa Yogyakarta.

Kelima, pasal 1 angka 14 perihal Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai sesuai yang bukan menjadi ciri asli keistimewaan daerah Istimewa Yogyakarta, tapi lebih meniru kepada konum di Nangroe Aceh Darusslam dan Majelis Rakyat Papua di Papua.

Keenam, pada Bab II Batas dan Pembagian Wilayah, pasal 2 ayat (1) huruf b menyebutkan, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Klaten Provinsi jawa Tengah. Padahal kondisi riilnya, selain berbatasan dengan Kabupaten Klaten juga berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Wonogiri.

Ketujuh, Pertanahan dan Penataan Ruang, pasal 26 ayat (1) menyebutkan, Kesultanan dan Pakualaman ditetapkan sebagai badan Hukum. Bunyi pasal ini tidak sinkron dengan bunyi penjelasannya yang menyebutkan sebagai Badan Hukum Kebudayaan.

Kedelapan, masih di bidang pertanahan, kalau Kesultanan dan kadipaten ditetapkan sebagai Badan Hukum, bagaimana dengan tanah-tanah yang selama ini dilepas kepada masyarakat dan pihak lain, apakah harus dibatalkan?

Kesembilan, penggunaan terminologi "pembagian kekuasaan" pada pasal 5 ayat (2) huruf c tidak tepat karena prinsipnya daerah sudah berada pada cabang kekuasaan eksekutif dan kekuasaan eksekutif tidak dapat dibagi lagi.

Pada kesempatan tersebut, Sultan juga mengajak kepada seluruh pihak untuk berpikir secara jernih dalam menyikapi keistimewaan Yogyakarta, sebagai pendekatan "ushul fiqih" yakni ilmu hukum dalam Islam untuk menghasilkan produk hukum atau perundang-undangan.

Menurut dia, dalam praktik ketatanegaraan, apa yang terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta disebut sebagai "ahkamul `urfi" yakni kebiasaan yang telah dinyatakan sebagai hukum tetap dan menjadi landasan aturan tata perilaku di suatu wilayah.

"Selama tidak menimbulkan bahaya dan mengancam kehidupan umat, `ahkamul `urfi` itu memiliki legalitas syar`i," katanya.

Sultan menambahkan, syraiat Islam sendiri berprinsip "tasbaruuuful imami manutbun bimashalihil ummah" yakni kebijakan penguasa harus berpijak pada kemaslahatan umat.

(R024/S019/S026)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2011