"Yang punya otoritas tidak melakukan itu karena merasa di luar kewenangannya."
Jakarta (ANTARA News) - Jumlah kebijakan yang dinilai diskriminatif terhadap perempuan semakin bertambah hingga mencapai 189 peraturan daerah pada akhir 2010.

Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan bidang Partisipasi Masyarakat, Andy Yentriyani, di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Kamis, mengatakan bahwa pada 2009 peraturan daerah yang diskriminatif itu masih berjumlah 154.

"Awal tahun 2009 Komnas Perempuan menghitung ada 154 kebijakan diskriminatif. Pada akhir 2010 ada penambahan 35 di tingkat daerah mencapai 189 di penghujung 2010," ujarnya.

Jumlah itu, lanjut Andy, bisa bertambah menjadi 192 apabila tiga peraturan daerah yang melarang aktivitas Ahmadiyah di sejumlah daerah turut dihitung.

Ia menilai, kecenderungan kenaikan jumlah perda yang diskriminatif itu karena Kementerian Dalam Negeri sampai saat ini tidak mengambil langkah tegas membatalkan kebijakan yang melanggar hak-hak kaum perempuan atau pun kalangan minoritas lainnya.

Saat ini, lanjut dia, peraturan daerah tidak adil yang dibatalkan oleh Kemendagri baru terbatas di bidang retribusi dan perpajakan.

"Saat bersamaan juga merupakan cermin dari politisasi identitas yang marak dalam praktik politik Indonesia sehari-hari," ujarnya.

Selain itu, menurut Andy, kebijakan otonomi daerah yang belum sempurna juga berpengaruh pada kenaikan peraturan daerah yang diskriminatif karena institusi yang seharusnya bisa membatalkan kebijakan tersebut tidak memiliki kewenangan.

"Karena lembaga yang melakukan pengawasan tidak mempunyai kewenangan, seperti Kementerian Perempuan dan Anak serta Kemenkumham, sementara yang punya otoritas tidak melakukan itu karena merasa di luar kewenangannya," kata Andy menambahkan.

Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Amalia Gumelar, mengatakan bahwa pihaknya akan membentuk tim khusus guna mengkaji berbagai perda yang diskriminatif bersama dengan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, dan Komnas Perempuan.

"Tadi Presiden menegaskan jangan melihat hanya perda-perda yang dibatalkan lebih ke pajak dan sektor ekonomi, tetapi ke sektor sosial budaya terkait perda diskriminatif harus diperhatikan dan dievaluasi," kata Linda.

Tim itu, lanjut dia, saat ini tengah melakukan pendataan terhadap perda-perda yang dinilai diskriminatif serta melakukan inventarisasi untuk diketahui masalah yang paling prioritas dan menonjol.

"Bulan Maret ini akan dimulai, mungkin kita akan melihat dulu mana yang paling menonjol permasalahannya dan perlu mendengar pemda setempat," ujarnya.

Linda mengatakan perda diskriminatif saat ini tersebar berada di seluruh wilayah Indonesia seperti di Aceh dan Banten dengan konsentrasi utama di kawasan kabupaten.

"Merata, sekarang di daerah seperti di Aceh dan Tangerang. Jadi berada di lini kabupaten yang banyak. Ini terkait kesempatan aturan kepada perempuan, artinya dia tidak bisa mendapatkan hak-hak sebagai warga negara," jelasnya.

Linda menargetkan pada akhir 2011 tim yang mengkaji perda diskriminatif itu sudah selesai bekerja dan menyerahkan hasilnya kepada Kementerian Dalam Negeri yang berwenang membatalkan Perda bertentangan dengan undang-undang.
(T.D013*F008)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2011