Cambridge (ANTARA News) -Duta Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Belgia, Kepatihan Lukxemburg dan Uni Eropa, Arif Havas Oegroseno, mengemukakan bahwa sudah waktunya meningkatkan hubungan Indonesia dengan Uni Eropa dalam bentuk kemitraan strategis.

Mantan Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri tersebut menyatakan hal itu kepada ANTARA News saat diundang forum Cambridge University Southeast Asian Forum (CUSEAF), sebuah perkumpulan mahasiswa Asia di St Catharine`s College, University of Cambridge, Inggris , untuk menjelaskan hubungan Indonesia dengan Uni Eropa.

Havas, yang alumni  Harvard Law School di Amerika Serikat, dalam forum tersebut menelaah tentang "Indonesia dan Uni Eropa pasca-Kemitraan dan Perjanjian Kerjasama (PCA) 2009". Ia menekankan perkembangan hubungan Indonesia dan Uni Eropa yang terbagi dalam tiga fase, yang dimulai pada 1965 sampai 1998.

Menurut Havas, hubungan Indonesia dan Uni Eropa dalam fase tersebut banyak diwarnai oleh masalah hak azasi manusia (HAM), demokratisasi, keterbukaan dan Timor Timur. Bahkan, ia mengemukakan, hampir setiap sidang yang diadakan Uni Eropa selalu membicarakan masalah Timor Timur karena di Uni Eropa juga ada Portugal, yang pernah menjajah Timor Timur hingga meninggalkannya pada 1975.

Dikatakannya, pada masa itu Indonesia dipimpin oleh seorang pemimpin yang sangat kuat, di mana stabilitas dengan kekuatan serta hak-hak sipil masih dikesampingkan sehingga pada saat itu Indonesia dikenal sebagai "Macan Asia".

Kemudian, ia menyatakan, pada fase kedua, setelah tahun 1998, dimana Indonesia menjadi negara demokrasi, Uni Eropa mengubah posisinya dengan dibentuknya "EU Communications 2000: Indonesia Strategy Paper" oleh Komisi untuk Dewan dan Parlemen, Uni Eropa yang menyebutkan hubungan dengan Indonesia perlu dikaji ulang dan direvisi lagi untuk ditingkatkan, serta harus ada penampilan yang segar dan baru.

Hal itu, menurut diplomat karir yang pernah bertugas di Jenewa (Swiss) dan Portugal itu, karena Uni Eropa menilai Indonesia sudah berubah menjadi negara demokrasi, sehingga mereka menyusun  Country Strategy Paper (CSP) untuk Indonesia yang menjabarkan ruang lingkup kerja sama pembangunan bilateral selama periode 2007-2013.

Diakuinya, dalam CSP 2013 itu penilaian hubungan Indonesia dan Uni Eropa sangat positif dan lebih ditekankan pada perdagangan dan investasi, karena dari sisi politik pandangan Uni Eropa dan Indonesia sudah sama.

Puncaknya, menurut dia, pada 2009 Indonesia dan Uni Eropa menandatangi PCA, yaitu Indonesia dan Uni Eropa pasca-Kemitraan dan Perjanjian Kerja sama yang menjadi kerangka dasar dalam kerja samabilateral yang lebih substantif.

Indonesia dalam hal ini dapat mengembangkan kelompok kerja yang lebih substantif sesuai dengan PCA, ujarnya.

Menurut Havas, Indonesia seharusnya melihat hubungannya dengan Uni Eropa yang lebih dalam lagi, dan apa sudah waktunya dibentuk kemitraan yang strategis, karena keduanya memiliki mitra yang sama, misalnya dengan Brazil, Rusia, Afrika Selatan, India, China, Jepang dan Korea Selatan.

Hal tersebutm menurut dia, sangat jelas Indonesia memerlukan waktu guna membangun kemitraan strategis dengan Uni Eropa, yang antara lain juga membutuhkan dukungan dari kalangan akademi, dan tidak hanya dari para pengambil keputusan di Brussel sebagai ibukota Uni Eropa. Indonesia tentunya juga memerlukan dukungan dari negara lain yang juga mitra strategis Uni Eropa.

Oleh karena itu, ia mengemukakan, kehadirannya di Cambridge University merupakan hal yang sangat tepat untuk menempatkan peta Indonesia dikalangan sivitas academika di Inggris, setelah hal yang sama juga dilakukan Havas di berbagai universitas di Belgia.

Sementara itu, pembawa acara dalam diskusi forum Cambridge University Southeast Asian Forum (CUSEAF), Yvonne Tew, candidat doktor di St Catharine`s College, University of Cambridge, mengatakan bahwa CUSEAF merupakan forum tukar pikiran di antara mahasiswa dari Asia di Cambridge yang dalam pertemuannya menghadirkan tokoh-tokoh penting dari berbagai negara, diantaranya Anwar Ibrahim dan Alex Bates.
(T.H-ZG/A011)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2011