Mereka sudah tahu banyak korupsi dalam pemerintahan Indonesia, jadi saat memberi bantuan ODA mereka akan membuat prosedur yang lebih transparan dan menghindari jalur pemerintah
Jakarta (ANTARA News) - Pengajuan hak jawab pemerintah Indonesia kepada dua media Australia yang memuat berita dari bocoran kawat diplomatik yang diperoleh situs Wikileaks dianggap sebagai pendekatan yang paling elegan oleh pengamat hubungan internasional Evi Fitriani.

"Mengajukan hak jawab adalah pendekatan yang paling elegan, lebih dari itu akan kontra produktif," kata Evi yang juga dosen departemen Hubungan Internasional Universitas Indonesia lewat surat elektronik di Jakarta, Senin.

Seperti yang diwartakan sebelumnya, harian The Age dan Sydney Morning Herald (SMH) yang terbit pada 11 Maret disebutkan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diduga terlibat kasus korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang dikutip dari bocoran kawat diplomatik oleh Wikileaks dari Kedutaan Besar AS di Jakarta.

Doktor lulusan Australian National University bidang "Public Policy and Governance" tersebut mengatakan tujuan kedua harian memuat berita itu adalah untuk mengirimkan pesan kepada pemerintah Australia.

"The Age adalah koran nasional beraliran konservatif yang cenderung menyuarakan pandangan Partai Liberal Australia sementara SMH beredar di Sydney (ibu kota negara bagian New South Wales) dan sekitarnya yang biasanya merupakan basis kelompok Liberal," jelasnya.

Pemuatan berita mengenai Presiden SBY saat Wakil Presiden Budiono berkunjung ke Australia dapat diartikan bahwa kelompok konservatif Australia yang tidak terlalu bersahabat terhadap Indonesia, ujar Evi.

"Ingat, anggota parlemen dari partai Liberal beberapa waktu lalu meminta bantuan "Official development assistance" (ODA) Australia ke Indonesia yang digunakan untuk membangun banyak gedung sekolah dikurangi," kata Evi.

Namun menurutnya alasan yang lebih penting adalah kelompok konservatif yang diwakili oleh dua harian tersebut ingin mengirim pesan kepada pemerintah Australia (Partai Buruh) bahwa mereka tidak sepenuhnya menyetujui hubungan yang terlalu baik dengan Indonesia.

"Jadi mereka justru ingin membuat pemerintahan Partai Buruh yang biasanya lebih bersahabat dengan negara-negara Asia menjadi tidak enak hati (awkward) dalam menghadapi tamu dari Indonesia dan pemerintah Indonesia," tambahnya.

Pers di Australia menurut Evi dijamin kekebasannya sehingga pemerintah tidak bisa dan tidak boleh mengontrol media, namun bila pers memberikan berita yang tidak benar, pihak yang dirugikan dapat melayangkan hak jawab atau mengkritik media tersebut.

Evi juga mengatakan bahwa media Australia sangat kritis terhadap Indonesia.

"Mereka memang kritis terhadap masyarakat atau pemerintah Indonesia bila ada kejadian yang menurut standar etika mereka tidak layak, tapi pemimpin mereka sendiri seperti menteri atau perdana menteri juga kerap ditelanjangi keburukannya," ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa secara umum masyarakat Australia cukup bersahabat dengan orang Indonesia, walaupun mereka tetap kritis bila ada sesuatu yang dianggapnya tidak benar di Indonesia namun juga hormat bila Indonesia melakukan sesuatu yang baik atau bermanfaaat.

"Tetapi orang yang punya hubungan dengan pemerintah Indonesia seperti menjadi diplomat di Indonesia atau pengusaha yang berhubungan dengan Indonesia akan lebih hati-hati mengkritik Indonesia bahkan cenderung `tutup mulut`," tambahnya.

"Misalnya, mereka sudah tahu banyak korupsi dalam pemerintahan Indonesia, jadi saat memberi bantuan ODA mereka akan membuat prosedur yang lebih transparan dan menghindari sedikit mungkin `jalur pemerintah`," jelasnya.
(*)

 

Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2011