Pembangunan keberlanjutan, ekonomi dan sosialnya harus berimbang, tanpa merambah hutan Rawah Singkil
Banda Aceh (ANTARA) - Pemulihan Suaka Margasatwa Rawa Singkil, Provinsi Aceh dinilai mendesak dari ancaman perambahan maupun ekspansi perkebunan kelapa sawit ilegal, mengingat rusak lahan gambut itu akan menimbulkan masalah pada aspek ekologi, ekonomi dan sosial.

Kepala Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Agus Arianto di Banda Aceh, Kamis, mengatakan Suaka Margasatwa Rawa Singkil yang berada di Kabupaten Aceh Selatan, Aceh Singkil, dan Kota Subulussalam merupakan hutan rawa gambut bagian dari Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).

"Upaya perlindungan terus dilakukan dalam rangka menjaga kelestarian rawa singkil, dan juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat, agar harmonisasi antara masyarakat dan kelestarian alamnya tetap terjaga," kata Agus dalam diskusi "Masa Depan Rawa Singkil" yang digelar Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh secara virtual.

Baca juga: BRGM: Sistem tata kelola air mikro optimalkan budidaya padi gambut

Menurut Agus, ada beberapa upaya perlindungan serta pengamanan yang dilakukan guna menjaga dan melestarikan kawasan itu seperti patroli melibatkan masyarakat serta polisi hutan wilayah rawa singkil dan melakukan pendampingan kepada masyarakat.

Kemudian, kata Agus, upaya restorasi berupa pemulihan secara alami pertumbuhan dengan melakukan penanaman pada blok-blok rehabilitasi juga telah dijalankan sejak 2018.

Pemulihan ekosistem wilayah di Aceh Selatan hingga 2021 lebih kurang telah mencapai 249 hektare. Program ini akan terus berlangsung hingga 2024, katanya.

Baca juga: Yayasan Madani Berkelanjutan sambut baik pernyataan Presiden di COP26

Selain Agus, beberapa pembicara lain yang hadir dalam diskusi tersebut seperti Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), Polres Aceh Selatan, dan Pusat Riset Perubahan Iklim Aceh (ACCI) USK.

Direktur Konservasi YEL M Yacob Ishadamy menilai ekosistem gambut semakin kritis, khususnya di Rawa Singkil yang merupakan habitat yang tersisa bagi orang utan.

Kata dia, upaya yang perlu dilakukan terkhusus dari YEL yakni mendampingi Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) termasuk BKSDA dalam menyusun rencana perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut.

Baca juga: Pengelolaan gambut berkelanjutan jaga keanekaragaman hayati

Dengan potensi yang masih sangat minim dimanfaatkan saat ini, yaitu isu ekonomi terutama di Aceh Singkil dengan angka kemiskinan yang cukup tinggi, katanya.

"Pembangunan keberlanjutan, ekonomi dan sosialnya harus berimbang, tanpa merambah hutan Rawah Singkil," katanya lagi.

Selain itu, Koordinator Riset ACCI USK, Dr Monalisa mengatakan perlindungan lahan gambut juga memperlambat laju pemanasan global. Permasalahan pengelolaan gambut di Aceh seperti sosial politik, ekonomi, legislasi dan regulasi, tenurial, dan biofisik lingkungan.

"Gambut dan masyarakat sekitar tidak bisa dipisahkan. Kita melihat gambut menjadi ekosistem lahan basah. Terbentuk 10-40 ribu tahun silam. Mengapa kemudian terbakar dan ketika terbakar sulit pulih," katanya.

Menurut dia tanah gambut telah ada sekitar 9.600 hingga 9.700 sebelum Masehi. Tanah gambut akan terbentuk di sekitar rawa-rawa saat terdapat tumbuhan yang mati, terjatuh dan terhambat proses pembusukannya.

Kondisi itu dapatdengan mudah terjadi kawasan sekitar rawa-rawa dikarenakan perairan di sekitarnya memiliki tingkat keasaman yang tinggi. Ketika gambut sudah terbakar, lahan gambut sudah berkurang kesuburannya, mikroorganisme tidak ada.

"Kita masih terus melakukan riset apa yang sebenarnya terjadi di Rawa Singkil, karena setiap rawa gambut mempunyai permasalahan tersendiri," katanya.

Pewarta: Khalis Surry
Editor: Heru Dwi Suryatmojo
Copyright © ANTARA 2021