Satu-satunya alasan mengapa kami kalah adalah serangan udara"
Jakarta (ANTARA News) - "Ini kemajuan besar. Kami sangat berterimakasih. Malam tadi ribuan orang keluar rumah, keluarga-keluarga dan semua orang berpesta. Namun kami menunggu itu diimplementasikan.  Kami lelah bicara," kata Rajab Mohammed al-Agouri yang meninggalkan Benghazi Kamis larut malam tadi.

Rajab, seperti jutaan lainnya massa anti-Gaddafi, membicarakan dan menyambut resolusi PBB mengenai zona larangan terbang di Libya.

Kamis waktu AS atau Jumat pagi WIB tadi, Dewan Keamanan PBB meluluskan sebuah resolusi yang mendukung penerapan zona larangan terbang di wilayah udara Libya.

Resolusi ini jelas pukulan hebat terhadap pemimpin Libya Moammar Gaddafi dan pasukannya yang sudah akan bergerak ke Benghazi di mana kelompok pemberontak membentuk majelis nasional interim.

Resolusi Dewan Keamanan PBB ini juga menitahkan anggotanya untuk melakukan upaya apapun untuk melindungi warga sipil dari pasukan pro-Gaddafi, yang belakangan gencar meluncurkan serangan tiga matra sekaligus, darat, laut dan udara, ke daerah-daerah yang dikuasai pemberontak dan demonstran.

Resolusi ini menguatkan lagi asa menang perang di kalangan pemberontak dan warga anti-Gaddafi. Mereka percaya pendulum tengah bergerak ke arah mereka, sebaliknya pasukan Gaddafi akan segera menghadapi pukulan balik.

Kepada stasisun televisi Aljazeera, Kepala Majelis Nasional Mustafa Abdel Jalil yakin, tanpa dukungan serangan udara, pasukan Gaddafi akan dikalahkan pemberontak. 

Abdel Jalil memastikan tujuan perlawanan mereka, yaitu menanggalkan Gaddafi dari kekuasaan.

"Kami tak menginginkan apa-apa kecuali pembebasan rakyat negeri ini dari rezim ini (rezim pimpinan Moammar Gaddafi)," katanya.
 
Keyakinan mengalahkan pasukan Gaddafi ini diyakini oleh banyak kalangan anti-Gaddafi dan juga sejumlah besar kalangan pakar di Barat.  

Tetapi ada juga yang menganggap skeptis resolusi tersebut, diantaranya Henry Wilkinson, analis senior pada Janusian Security Consultants.

"Resolusi ini datang agak terlambat.  Pasukan Gaddafi dilaporkan sudah mendekat ke Benghazi, dan dia kemungkinan besar akan mencoba menekan sebisanya," kata Wilkinson.

Wilkinson yakin Gaddafi akan tetap bertahan di Libya, setidaknya untuk sementara waktu, dan dia akan memaksakan dibuatnya sebuah bentuk penyelesaian yang mengamankan posisinya.

"Ini membuat (terciptanya) perpecahan antara (Libya) timur dengan (Libya) barat," sambung Wilkinson.

Sebaliknya, Shashank Joshi dari Royal United Service Institute, menyebut resolusi Dewan Keamanan PBB itu sebagai langkah penting yang menunjukkan komitmen bersama dunia dalam menghadapi kezaliman penguasa di sebuah negara.

"Saya benar-benar terkejut dengan keluarnya resolusi ini.  Ini sebuah momen historis. Resolusi ini akan dicatat dalam hukum internasional mengenai tanggung jawab dalam melindungi (manusia) melalui cara yang tidak terlihat sebelumnya," kata Joshi.

Dia memperkirakan Gaddafi akan menggunakan tameng manusia untuk mencegah operasi sekutu di bawah mandat PBB ke negaranya.

Selama ini dunia internasional, khususnya negara-negara Barat, menskenariokan strategi yang mengarah kepada menangnya kelompok pemberontak.  Namun setelah resolusi ini, strategi ini berubah menjadi intervensi untuk menumbangkan rezim Gaddafi.

"Anda nanti akan melihat tekanan militer dan politik yang terus menerus (kepada Gaddafi) dengan harapan Gaddafi lengser atau timbul kudeta dari kalangan dalam kekuasaannya," ulas Joshi.

Zona larangan terbang juga akan memastikan Benghazi baik sebagai kantong bagi pusat kekuatan pemberontak, maupun sebagai titik utama bantuan internasional untuk kelompok anti-Gaddafi, termasuk dari sesama Arab di Timur Tengah.  

"Kami lihat isyarat bahwa Mesir telah memasuk persenjataan ke pihak pemberontak, kendati negeri ini mengeluarkan suara menentang resolusi (zona larangan terbang dari Dewan Keamanan PBB) itu," sambung Joshi.

Pertanyaannya kini, jika PBB harus mengambil langkah apabila pasukan Gaddafi melanggar resolusi itu, siapa yang akan memimpin operasi penindakan terhadap pasukan Gaddafi itu.

Spekulasi-spekulasi menyebutkan bahwa intervensi PBB di Libya itu akan dipimpin oleh NATO, atau Amerika Serikat, atau bahkan Inggris dan Prancis.

Benjamin Barry, pakar peperangan di darat dari International Institute for Strategic Studies, berpandangan bahwa intervensi PBB itu akan dipimpin oleh Prancis.

Alasannya, konsensus umum di dunia adalah bahwa strategi politik dibalik zona larangan terbang terhadap Libya adalah demi menanggalkan Gaddafi dari kekuasaanya dan membentuk pemerintahan perwakilan di negeri Afrika Utara itu.

Satu lagi yang paling penting ide ini harus menunjukkan pada dunia bahwa semua perkembangan adalah atas kehendak rakyat Libya sendiri.  Dan soal yang satu inilah yang paling sering disebutkan oleh Prancis.

"Jika dipandang retorika itu maka (intervensi asing dengan mandat PBB di Libya) akan dipimpin Prancis," kata Barry.

Sejumlah kalangan di Barat mengkhawatirkan bahwa intervensi asing di Libya --khususnya jika dibawah pimpinan AS-- malah akan memicu Alqaeda terlibat jauh lebih dalam di Libya.

Mungkin malah Gaddafi akan mendapat simpati dari Alqaeda, justru setelah beberapa waktu lalu Gaddafi menuduh Alqaeda di balik demonstran.

Pihak Barat terutama mengkhawatirkan sayap Alqaeda di Afrika Utara, yaitu Alqaeda di Magribi Islam (AQIM).

"AQIM memiliki sumber daya dab telah mempertontonbkan kemampuannya yang amat terbatas untuk memainkan peran kunci dalam pemberontakan di Libya, dan mereka menakutkan kemungkinkan Barat menggelarkan kekuatannya di Libya," kata John Jay Lebeau, mantan pejabat senior CIA yang kini bekerja untuk George C. Marshall for Security Studies di Jerman.

Mungkin saja kekhawatiran Lebeau ini menggambarkan ketakutan umum Barat, seperti halnya mereka telah tunjukkan ke Tunisia dan Mesir sebelumnya.

Masalahnya, seperti halnya demonstran Tunisia dan Mesir, gerakan-gerakan politik antirezim di kedua negara itu tak pernah terbukti berafiliasi, apalagi digerakkan oleh organisasi teror seperti Alqaeda.

Ironisnya Lebeau sendiri mengakui bahwa warga anti-Gaddafi memang bergerak tanpa ada kaitannya dengan Alqaeda.

"Suka cita di Benghazi menyusul pengumuman zona larangan terbang menggambarkan bahwa ada sentimen positif atas intervensi Barat (di Libya). Itu berarti dukungan rakyat tidak mengalir ke kelompok jihadis, setidaknya untuk sementara waktu," katanya.

Yang jelas, warga anti-Gaddafi melihat sangat positif resolusi Dewan Keamanan PBB itu, terutama dalam hubungannya dengan rasio keunggulan bertempur

Apalagi dalam perkembangan terakhir ini demonstran Libya dan pasukan pemberontak terus didesak pasukan Gaddafi yang berintikan pasukan khusus dan tentara bayaran itu, murni karena superioritas di udara.

"Satu-satunya alasan mengapa kami kalah adalah serangan udara. Kami senang sekali begitu mendengar kabar itu (resolusi DK PBB). Di Benghazi, orang-orang menembakkan senapan ke udara, begitu juga penduduk Tobruk," kata Ragab Mohammed seperti dikutip Reuters. (*)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011