Sanaa (ANTARA News) - Sejumlah warga Yaman meluapkan kemarahan sementara petugas medis menyebutkan jumlah korban tewas akibat serangan penembak jitu menjadi 52 orang dan ribuan lainnya berunjuk rasa pada Sabtu walaupun keadaan darurat diberlakukan oleh pemerintah otoriter.

"Kami tidak akan bubar hingga turunnya sang tukang jagal," teriak para demonstran di ibu kota Sanaa yang mengacu kepada Presiden Ali Abdullah Saleh, demikian AFP melaporkan.

"Kami tidak akan meninggalkan tempat ini hingga kepergian Saleh dan sejumlah anaknya," tambah mereka.

Pembantaian di Sanaa pada Jumat siang merupakan hari paling berdarah dalam kerusuhan selama beberapa pekan yang mengguncang pemerintahan Saleh, yang juga sebagai sekutu utama AS atas perang terhadap Al Qaida di Semenanjung Arab.

Sejumlah saksi mata mengatakan "preman" pendukung Saleh menembakkan peluru tajam dari atap di sekitar lapangan Universitas Sanaa yang selama beberapa pekan menjadi pusat unjuk rasa yang meminta berakhirnya 32 tahun kekuasaan Saleh.

Sejumlah korban mendapat tembakan di bagian kepala dan lebih dari 120 orang cedera, kata petugas medis saat kejadian yang mencengangkan dunia dan memicu celaan diplomatis negara Barat serta para pemantau Hak Asasi Manusia.

Menurut petugas medis, jumlah korban tewas meningkat dalam semalam karena enam orang yang terluka parah meninggal dunia akibat terluka.

Menurut pengawas media, Dewan Perlindungan Jurnalis, salah satu dari korban tewas merupakan pewarta foto bernama Jamal Al Sharaabi yang bekerja bagi buletin mingguan Yaman, Al Masdar.

Yaman telah meminta dua pewarta televisi Al Jazeera untuk meninggalkan negara itu dengan mengatakan bahwa mereka bekerja secara ilegal dan bertindak tidak profesional, kata kantor berita Saba pada Sabtu.

Bentrokan di kota selatan, Aden juga menyebabkan tujuh orang cedera pada Sabtu ketika pasukan keamanan menembakkan gas air mata dan peluru tajam untuk membubarkan pengunjuk rasa antipemerintah di kawasan Mualla, kata sejumlah saksi dan petugas medis.

Sebanyak empat pengunjuk rasa yang meneriakkan slogan-slogan anti-pemerintah terkena peluru tajam dan tiga lainnya terkena penyakit pernapasan.

Setelah polisi membubarkan kumpulan pengunjuk rasa di jalan utama di Mualla, mereka menyerang kantor polisi yang ada di sana sehingga menyebabkan tentara Yaman menembakkan peluru tajam yang melukai tiga orang.

Di ibu kota Sanaa, ribuan orang masih berkemah di lapangan walaupun keadaan darurat tidak jelas yang Saleh katakan pada Jumat malam bahwa dia menyatakan "penyesalan" atas pembunuhan itu.

Dia menyalahkan warga bersenjata yang tidak dikenal yang menentang dukungan perdamaian oleh Arab Saudi dan membantah jika polisi ikut terlibat.

Pada Sabtu, Duta Besar Yaman untuk Lebanon, Faisal Amin Abu Ras, menyatakan pengunduran dirinya sebagai protes atas "pembantaian" Jumat di Sanaa.

Menurut pernyataan yang diterima AFP, pemimpin redaksi kantor berita Saba juga menyatakan pengundurannya sebagai unjuk rasa atas pembantaian dan akan "bergabung dengan pengunjuk rasa di lapangan Al Taghyeer" dekat Universitas Sanaa.

Pembantaian tersebut terjadi di saat menghadapi permintaan ulang Amerika Serikat dalam menahan diri dan menghargai Hak Asasi Manusia di negara miskin, yang juga berupaya meredam gerakan separatis di kawasan selatan dan pemberontakan Syiah di utara.

Presiden AS, Barack Obama sangat mengecam kekerasan dan meminta sekutu anti teror utama AS untuk melakukan perjanjian dalam mengizinkan unjuk rasa yang damai.

"Saya sangat mengutuk kekerasan yang telah terjadi di Yaman pada Jumat dan menyarankan Presiden Saleh untuk melakukan janjinya kepada masyarakat dalam melakukan unjuk rasa agar berlangsung damai," kata Obama.

"Mereka yang bertanggung jawab terhadap kekerasan hari ini harus menanggungnya," tambah Obama.

Ia mendesak "seluruh pihak" untuk mendiskusikan perbedaan dan membahas "keinginan sah masyarakat Yaman," walaupun pihak oposisi telah memutuskan perundingan dengan mengatakan bahwa Saleh telah kehilangan harga dirinya sebagai mitra perundingan.

Pihak oposisi mengatakan bahwa presiden harus mengundurkan diri pada 2011 namun dia menolak untuk turun hingga kekuasaannya berakhir pada 2013.

Sementara itu dia telah menawarkan penyerahan kekuasaannya kepada parlemen melalui konstitusi yang baru.

Sejumlah pakar HAM dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyesalkan pembantaian yang dikatakan sebagai pelanggaran hukum internasional.

Pelapor khusus PBB bidang eksekusi nonhukum, Christof Heyns, memperingatkan bahwa petugas keamanan yang gagal melindungi pengunjuk rasa yang damai dari kekerasan dapat diberikan "sanksi pidana".

Sementara itu pelapor khusus bidang kebebasan berpendapat dan berekspresi, Frank La Rue, mengatakan dalam pernyataan gabungan dengan pelapor khusus bidang penindasan, Juan Mendez bahwa pelanggaran HAM berat seperti ini sangatlah menyedihkan.

Kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, Catherine Ashton mengatakan bahwa dia "kecewa" oleh kekerasan dan meminta Saleh memenuhi janjinya yang diumumkan pada 10 Maret untuk melindungi hak berunjuk rasa dengan damai.

Sejumlah diplomat Barat telah berulang kali mengeluarkan pernyataan serupa sejak kekerasan terjadi pada Februari di Yaman, di mana jumlah korban tewas pada Jumat setelah pertumpahan darah telah berlipat menjadi sekitar 80 orang. (BPY/M016/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011