Jakarta (ANTARA News) - Kementerian Luar Negeri Indonesia belum bisa memastikan nasib sejumlah tenaga kerja Indonesia (TKI) yang selama ini bekerja di istana pemimpin Libya, Muammar Gaddafi.

Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa di Istana Kepresidenan di Jakarta Selasa mengatakan bahwa ia telah mendengar informasi bahwa para TKI tersebut sudah keluar dari Libya.

Meski demikian, ia belum bisa memastikan apakah informasi tersebut benar dan butuh untuk melakukan konfirmasi lagi.

"Yang saya dengar sih sudah kembali, tapi saya harus confirmed lagi," ujarnya.

Satuan Tugas Evakuasi Warga Negara Indonesia (WNI) di Libya sebelumnya menginformasikan terdapat delapan TKI informal yang bekerja di Istana Gaddafi. Salah satu TKI itu, menurut Menlu, bekerja sebagai tukang jahit untuk istri Muammar Gaddafi.

Sampai saat ini pemerintah telah mengevakuasi 850 WNI keluar dari Libya. Berdasarkan informasi terakhir, Marty menyebutkan masih ada sekitar sepuluh WNI yang masih berada di Libya.

Marty mengatakan, empat staf Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) masih tetap berada di Tripoli guna menyediakan bantuan bagi WNI yang memerlukan pertolongan meski pada prinsipnya pemerintah sudah mulai mengurangi jumlah staf KBRI di sana karena keadaan yang semakin tak menentu.

"Oleh karena itu, kita tidak ingin mengambil resiko menutup kemudian ada lagi warga yang datang, makanya empat orang ini masih tetap dipertahankan. Sebenarnya sudah harus segera saat ini meninggalkan KBRI, namun karena situasi di lapangan masih memerlukan mereka di sana, saat ini masih dilihat perkembangan dalam 24 jam," jelasnya.

Meskipun KBRI di Tripoli nantinya dikosongkan, lanjut Menlu, namun fungsi kedutaan tetap dijalankan melalui perwakilan Indonesia di Tunisia. "Jadi kedutaan pada prinsipnya dipindah ke Tunis dan dilanjutkan di Tunis," jelasnya.

Marty menyampaikan keprihatinan pemerintah Indonesia terhadap penggunaan kekerasaan yang justru semakin mencuat setelah serangan pasukan koalisi ke Libya selama tiga malam berturut-turut.

Untuk itu, ia mengimbau msyarakat internasional untuk bertindak secara nyata sesuai dengan hukum internasional dan piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

"Langkah internasional ini harus terukur, jangan sampai langkahnya ini menimbulkan masalah baru," ujarnya.

Indonesia, lanjut dia, tetap mengimbau pemecahan masalah tanpa tindak kekerasan melalui dialog atau penyelesaian secara politik dengan mengedepankan perlindungan terhadap warga sipil.

"Itu kita berpandangan bahwa akhirnya masalah tidak bisa diselesaikan melalui kekerasan," demikian Marty.

(D013*P008/S026)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2011