Jakarta (ANTARA News) - Gejolak politik di negara-negara produsen minyak yang memicu melambungnya harga minyak mentah hingga di atas 100 dolar AS per barel berpotensi membuat kondisi energi di Indonesia kian kritis.

"Bagi Indonesia, dilihat dari aspek produksi dan konsumsi dalam negeri, gejolak Timur Tengah berpotensi membuat kondisi energi kita semakin kritis dan perlu diantisipasi serius," kata Ketua Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas Bumi Indonesia (Aspermigas), Effendi Siradjuddin dalam pernyataan persnya di Jakarta, Minggu.

Karena itu, Effendi mengingatkan pemerintah Indonesia harus serius mewaspadai efek domino gejolak politik di kawasan Timur Tengah, terkait melambungnya harga minyak dunia yang masif dan permanen dalam sebulan terakhir.

Apalagi, gejolak harga minyak dunia yang telah menembus 120 dolar AS per barel, telah menjadi pemicu meningkatnya konsumsi minyak dunia yang tidak lagi linier dengan peningkatan produksi.

Ia mengatakan saat ini, Indonesia mengalami defisit minyak sekitar 1 juta barel per hari (bph), dan bisa meningkat hingga 3 bph dalam lima tahun ke depan, dan meningkat hingga 5 juta bph pada 2020.

Sementara kemampuan produksi Indonesia saat ini hanya 950 ribu bph, sedangkan konsumsi mencapai 1,4 juta bph. "Dari total produksi yang 950 ribu bph itu saja, separuhnya adalah hak asing," tegas Effendi.

Effendi berharap, pemerintah dapat mengambil sikap politik yang tegas dan jelas dalam menyikapi realitas ini. Misalnya, segera membangun transportasi massal dan konversi bahan bakar kendaraan dengan gas atau listrik secara besar-besaran. "Ketegasan diperlukan, mengingat tingginya kepentingan produsen kendaraan melihat besarnya pangsa pasar Indonesia," ujarnya.

Menurut Effendi, bila efek domino Timur Tengah berlanjut maka dalam hitungan bulan krisis energi akan merontokkan banyak negara. Sementara, bila tidak berlanjut maka dalam hitungan tahun akan berakibat fatal bagi rakyat di banyak negara.

Menyadari ancaman ledakan kelangkaan energi dunia, hampir semua negara penghasil minyak sebenarnya telah mengantisipasi sejak 30 tahun silam. Ini dibuktikan dengan penguasaan sekitar 87 persen produksi dunia dan sekitar 97 persen cadangan dunia oleh pihak asing sehingga yang kini tersisa sekitar 20 persen cadangan dunia.


Ancaman terbesar


Mengutip analisis pakar ekonomi dunia Nouril Roubini dalam World Economic Forum di Davos, Maret 2011, Effendi mengatakan ancaman terbesar dunia saat ini adalah ketersediaan dan tingginya harga energi dan pangan.

Ancaman tersebut berdampak pada potensi kerusuhan sosial yang masif dan permanen, akibat membengkaknya jumlah negara miskin.

Jelasnya, kerawanan energi dan pangan akan menuju pada situasi kegagalan negara (failed state), bahkan merontokkan negara (collapsed state).

Effendi menambahkan konsumsi minyak dunia pada 2010 sudah mencapai 2,7 juta bph. Angka tersebut cenderung bertambah 1,5 hingga 2 juta bph setiap tahun. Sedangkan, produksi ekstra minyak dunia (spare capacity) diperkirakan nol pada 3-4 tahun mendatang. "Kondisi ini dipastikan berdampak pada psikologi kenaikan harga," terangnya.

Dalam kalkulasinya, 5-20 tahun ke depan konsumsi minyak dunia akan mencapai 120-130 juta bph. Sedangkan tingkat produksi maksimal hanya 105-110 juta bph. "Artinya, kebutuhan energi dunia akan defisit 15-20 juta bph. Kondisi ini sangat mengerikan," imbuhnya.

Sepuluh tahun mendatang saja, lanjut Effendi, banyak negara eksportir minyak dunia akan berlomba memenuhi kebutuhan energi dalam negerinya sendiri seiring dengan meningkatnya kebutuhan energi di negaranya. Termasuk, negara-negara OPEC.

Memang betul ada produksi ekstra (spare capacity) anggota OPEC sebesar 5,5 juta bph, yang 3,5 - 4 juta bph dimiliki Arab Saudi, namun dengan terbatasnya spare capacity, defisit produksi dunia akan terjadi dan bermuara pada meningkatnya harga BBM dan ketersediaan energi.

"Bisa jadi, meskipun sebuah negara punya banyak uang, tapi tidak bisa membeli minyak karena memang tidak ada barang yang tersedia di pasar untuk dibeli," jelas Effendi.(*)

(F004/B012)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011