Menurut saya tuduhan bahwa Permendikbudristek jauh dari nilai moral itu kurang tepat
Jakarta (ANTARA) - Peneliti bidang sosial dari The Indonesia Institute Center for Public Policy Research Nisaaul Muthiah mengatakan Peraturan Mendikbudristek tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) tidak ada yang menyebutkan tentang pelegalan hubungan suka sama suka.

“Menurut saya tuduhan bahwa Permendikbudristek jauh dari nilai moral itu kurang tepat. Ada perbedaan sudut pandang dalam memahami aturan tersebut. Aturan tersebut sama sekali tidak menyebutkan adanya pelegalan hubungan suka sama suka,” ujar Nisa di Jakarta, Kamis.

Baca juga: Kowani sambut baik Permendikbudristek Penanganan Kekerasan Seksual

Dia menjelaskan bahwa lingkup dari aturan tersebut adalah untuk mencegah dan melindungi penyintas kekerasan seksual bukan untuk melegalkan hubungan suka sama suka.

Pihaknya juga mendukung dan mengapresiasi Permendikbudristek karena penyintas kekerasan seksual di kampus itu ada dan jumlahnya tidak sedikit.

“Jadi Permendikbudristek tersebut penting untuk mencegah dan melindungi penyintas kekerasan seksual di kampus,” tambah dia.

Baca juga: Kowani sebut pelecehan seksual coreng dunia pendidikan

Anggota Komisi X DPR, Ledia Hanifah, mengatakan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tersebut tidak memiliki dasar hukum dan juga jauh dari nilai-nilai Pancasila dan bahkan cenderung pada nilai-nilai liberalisme.

“Sangat disayangkan bahwa satu peraturan yang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kejahatan terkait kekerasan seksual justru sama sekali tidak memasukkan landasan norma agama di dalam prinsip Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang termuat di pasal 3. Padahal Pancasila dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa adalah dasar negara yang setiap silanya dijabarkan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) merupakan cara manusia Indonesia bersikap dan mengambil keputusan,” kata Ledia.

Baca juga: LRT Jakarta gelar program edukasi lawan pelecehan seksual

Selain ketiadaan landasan norma agama, muatan-muatan peraturan itu banyak memasukkan unsur liberal dalam mengambil sikap.

Misalnya definisi kekerasan seksualnya menjadi bias, misalnya saja ketika memasukkan salah satu jenis kekerasan seksual pada “penyampaian ujaran yang mendiskriminasi identitas gender”.

Baca juga: DP3A Pekanbaru siap dampingi mahasiswi Unri didduga korban pelecehan

Ditambah pula Peraturan Menteri itu memasukkan persoalan “persetujuan” atau yang biasa dikenal sebagai consent menjadi diksi yang berulang-ulang digunakan sebagaimana bisa ditemukan pada pasal 5 ayat 2.

“Bahwa beraneka tindakan atau perilaku akan masuk dalam konteks kekerasan seksual bila tidak terdapat persetujuan dengan korban. Ini tentu merupakan satu acuan peraturan yang berbahaya. Ditambah dengan tidak dimasukkannya norma agama, generasi muda kita seolah digiring pada satu konteks bahwa dengan persetujuan suatu perilaku terkait seksual bisa dibenarkan. Jelas-jelas berbahaya ini,” terang Ledia.

Baca juga: Kemendikbudristek kecam tiga dosa besar dunia pendidikan

Pewarta: Indriani
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2021