akumulasi kekuasaan semacam ini bisa membuat Xi malah makin lekat mengasosiasikan diri dengan stabilitas nasional yang pada akhirnya membungkam perbedaan pendapat, sekalipun negara sentralistis seperti China memang tak terbiasa dengan perbedaan penda
Kecenderungan baru

Keberanian Peng ini menyiratkan ada kecenderungan baru yang tengah terjadi di China dalam kaitannya dengan cara mengutarakan pendapat.

Kemakmuran yang dicapai China sampai menjadi kekuatan ekonomi nomor dua di dunia setelah Amerika Serikat telah membuat rakyatnya semakin sejahtera yang kemudian mendorong mereka memiliki kesempatan pergi ke mana saja dan memiliki apa saja, termasuk berinteraksi dengan nilai dan kultur baru, termasuk budaya berpendapat di muka umum.

Untuk sebagian warga negara itu, interaksi dengan nilai dan kultur berbeda ini yang ditambah dengan media sosial yang membuat orang bebas menyampaikan pendapat sekalipun ada sensor, membuat mereka menjadi berani mengutarakan pendapat, bahkan mengkritik penguasa.

Di antara yang melakukan hal ini adalah miliarder pendiri Alibaba Group, Jack Ma, yang seperti Peng sempat hilang tak lama setelah mengkritik pemerintah China.

Pada 24 Oktober 2020, berbicara dalam sebuah forum bisnis di Shanghai, Jack Ma berkata, "sistem keuangan saat ini adalah peninggalan Era Industri. Kita harus membuat yang baru demi generasi mendatang dan kaum muda. Kita mesti mereformasi sistem yang ada saat ini."

Tak lama setelah itu Jack Ma menghilang, sementara kerajaan bisnisnya, Ant Group, digelandang pihak berwenang, sampai rencana go public senilai 37 miliar dolar AS pun batal.

Tindakan lebih keras diterapkan kepada sejumlah pengkritik rezim dan juga pribadi Presiden China Xi Jinping, salah satunya usahawan properti terkemuka Ren Zhiqiang.

Ren divonis penjara 14 tahun September tahun lalu atas dakwaan penggelapan dana masyarakat dan suap yang total senilai 2,9 juta dolar AS.

Dakwaan ini diragukan sebagian kalangan, termasuk dunia internasional, sebaliknya mereka beranggapan karena Ren acap mengkritik Xi Jin Ping-lah yang membuat tokoh ini dihukum.

Tokoh-tokoh lain seperti Cai Xia, profesor perempuan yang mengajar di kampus elite Central Party School, tempat kader-kader PKC digembleng, bahkan terpaksa mengasingkan diri ke luar negeri.

Cai menuding terjadi pembusukan PKC dari dalam tubuh partai oleh penumpukan kekuasaan yang dilakukan Xi yang memang mengisi posisi-posisi terpenting, mulai sekretaris jenderal Partai Komunis China (PKC) sampai Presiden China dan kini cenderung berkuasa seumur hidup dengan cara mengubah aturan masa berkuasa menjadi lebih dari dua periode.

Untuk melawan kritik, Xi menempuh serangkaian langkah yang di antaranya mengawasi ketat media sosial lewat undang-undang pengawasan media sosial pada 2018 yang dilembagakan dalam bentuk Badan Ruang Siber China (CAC).

Namun, akumulasi kekuasaan semacam ini bisa membuat Xi malah makin lekat mengasosiasikan diri dengan stabilitas nasional yang pada akhirnya membungkam perbedaan pendapat, sekalipun negara sentralistis seperti China memang tak terbiasa dengan perbedaan pendapat.

Masalahnya, dengan kian makmurnya China, penduduk pun kian sejahtera dan semakin melek dan ini membuat penduduk menjadi memiliki kesempatan luas dalam mengenal untuk kemudian berinteraksi dengan nilai, budaya dan realitas di luar China, termasuk budaya berpendapat di ruang publik.

Dan transaksi nilai dan budaya lintas batas seperti ini terlalu sulit dikendalikan oleh UU siber sekalipun, kecuali China menutup diri yang mustahil terjadi mengingat proyeksi pengaruh dan kekuatan China sudah demikian jauh melewati batas-batas teritorialnya.


Baca juga: WTA ancam batalkan turnamen di China akibat kasus Peng Shuai
Baca juga: Djokovic sebut situasi Peng mengerikan, tenis harus bersatu

Copyright © ANTARA 2021