Khartoum (ANTARA News) - Pengungsi Darfur  menyandera 12 pekerja bantuan di kamp Kalma, kata juru bicara misi penjaga perdamaian PBB-AU (UNAMID), Rabu.

Jutaan orang telah meninggalkan rumah mereka ke kamp-kamp pengungsian dan kira-kira 300.000 orang telah tewas di wilayah Darfur di Sudan barat sebagai akibat dari pemberontakan yang telah berlangsung lama.

"Para pekerja bantuan itu ditangkap pada 11 April sebagai pembalasan atas penangkapan seorang IDP (orang yang terlantar di dalam negeri) ... pada 9 April oleh keamanan nasional," kata juru bicara UNAMID Christ Cycmanick.

PBB dan para pemimpin kamp Kalma, di Darfur Selatan, telah menengahi dan memperkirakan para pekerja bantuan itu akan dibebaskan Rabu malam, katanya. Kelompok bantuan telah menangguhkan operasi di kamp itu, ia menambahkan.

Kamp Kalma  menampung puluhan ribu orang yang melarikan diri dari pertempuran.

Pemberontakan di Darfur meletus pada 2003 ketika gerilyawan mengangkat senjata untuk meminta bagian lebih besar dari kekayaan dan kekuasaan Sudan.

Khartoum  melancarkan serangan antipemberontak, dan ketegangan suku serta sumber yang menurun bagi petani dan penggembala ternak telah memperumit konflik.

Hukum dan ketertiban tak herlaku di Sudan barat, tempat geng-geng bersenjata memperkosa, menjarah dan membunuh. PBB memperkirakan dua juta orang lebih telah melarikan diri dari rumah mereka dan 300.000 orang tewas. Pemerintah Sudan menyebutkan hanya 10 ribu orang yang tewas.

Operasi bantuan Darfur, yang terbesar di dunia, telah terhambat karena gangguan, penculikan dan ketidakamanan.

Pengadilan Kriminal Internasional telah mengeluarkan surat perintah penangkapan bagi Presiden Sudan Omar Hassan al-Bashir karena pembasmian etnik dan kejahatan perang di Darfur, tapi ia membantah tuduhan itu dan Khartoum tidak mengakui kedaulatan ICC.

Pada 2009, pemerintah mengusir 13 badan bantuan internasional terbesar dari Darfur dan informasi mengenai operasi bantuan sejak itu jarang, pekerja bantuan yang tersisa takut untuk membicarakan mengenai kondisi di wilayah itu.

Khartoum menuduh media Barat telah membesar-besarkan dalam laporannya mengenai konflik itu.

Perpecahan pemberontak dan serangan militer yang berlanjut telah menyebabkan kegagalam pembicaraan damai, dan pemerintah berangsur-angsur mendesakkan kekuasaannya.
(S008/H-AK)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011