Serangan ulat bulu yang di Jakarta, Yogyakarta, dan daerah-daerah lain itu hanya merupakan siklus tahunan yang tidak perlu dikhawatirkan
Bogor (ANTARA News) - Peneliti dari Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian IPB, Dr Hermanu Triwidodo mengatakan, penanganan terhadap serangan ulat bulu di beberapa daerah cenderung bersifat "panic management" atau manajemen panik sehingga hanya menghasilkan kebijakan yang tidak rasional.

"Saya bisa katakan sekarang ini di daerah-daerah hanya terlihat `panic management`, akibatnya banyak pengeluaran yang sebenarnya tidak perlu untuk mengatasi serangan ulat bulu," kata Hermanu di Bogor, Kamis.

Menurut dia, serangan ulat bulu yang benar-benar merupakan "outbreak" atau ledakan hama hanya terjadi di Kabupaten Probolinggo dan Pasuruan, sedangkan serangan di daerah-daerah lain hanya merupakan siklus tahunan.

"Serangan ulat bulu yang di Jakarta, Yogyakarta, dan daerah-daerah lain itu hanya merupakan siklus tahunan yang tidak perlu dikhawatirkan," katanya.

Ada ulat yang memiliki siklus peningkatan populasi enam hingga delapan tahun sekali, setahun sekali pada pohon jati, alpukat dan kedondong, kata dia.

Lebih lanjut ia mengatakan, kebingungan yang terjadi di masyarakat saat ini terjadi karena kelembagaan pelayanan proteksi tanaman yang terfragmentasi.

"Masing-masing departemen punya, Kemenhut, Kementan, dinas pertamanan sendiri juga punya, jadi masyarakat bingung," katanya.

Terkait serangan ulat bulu di wilayah DKI Jakarta, Hermanu mengaku sudah memperingatkan Dinas Pertamanan setempat agar tidak melakukan fogging untuk melindungi musuh alami ulat.

"Saya katakan, jangan di-fogging nanti musuh alami ikut mati. Lebih baik `spot treatment` saja," katanya.

Ulat bulu dilaporkan telah menyerang tanaman di beberapa wilayah di Jakarta seperti Petojo, Cengkareng dan Tanjung Duren.

Namun tanaman yang diserang bukan tanaman produktif. "Seperti di Cengkareng dan Tanjung Duren, pohon cemara dan angsana yang dihuni ribuan ulat tersebut tidak rusak. Ulat hanya memakan benalu yang hidup di pohon itu," katanya.
(ANT/A038

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011