Surabaya (ANTARA News) - Ketua Umum PP Muslimat NU Hj Khofifah Indar Parawansa meminta ibu-ibu, khususnya di lingkungan Muslimat NU, untuk mewaspadai perubahan karakter pada anaknya terkait doktrinisasi ala Negara Islam Indonesia (NII) dan jaringan radikal sejenisnya.

"Ibu-ibu bisa saja bersikap moderat, tapi anaknya dikooptasi orang lain, sehingga mengalami perubahan, karena itu ibu-ibu yang intensif berkomunikasi dan sambung pikiran dengan anaknya hendaknya mewaspadai perubahan yang ada," katanya di Surabaya, Jumat.

Ia mengemukakan hal itu disela pembukaan peringatan Hari Lahir (Harlah) ke-65 Muslimat NU dan pertemuan Himpunan Dai Muslimat NU (Hidmat) yang diadakan PW Muslimat NU Jatim dan dihadiri 150-an pengurus Muslimat NU se-Jatim.

Dalam acara yang dihadiri Rais Syuriah PWNU Jatim KH Miftachul Akhyar dan Ketua PW Muslimat NU Jatim Hj Masruroh Wahid itu, Khofifah menjelaskan identifikasi perubahan karakter anaknya itu terlihat dari cara berpakaian yang aneh dan mudah mengkafirkan bila bertemu orang.

"Jangan anggap radikalisme itu wilayah laki-laki, tapi ibu-ibu juga harus menyelamatkan keluarganya. Ayo, jadikan orang Indonesia yang beragama Islam, bukan orang Islam yang berada di Indonesia, sehingga cuek atau EGP (emang gue pikirin) terhadap apa yang terjadi di sekitar kita," katanya.

Menurut dia, bila ibu-ibu menjadikan diri sebagai orang Indonesia yang beragama Islam, maka ibu-ibu akan bertanggungjawab terhadap apa yang terjadi di Indonesia, tapi kalau hanya menjadi orang Islam yang berada di Indonesia, maka mirip wisatawan saja.

Dalam kesempatan itu, mantan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan itu menegaskan bahwa NII sebenarnya bukan "barang baru" tapi sudah lama ada di Indonesia, sehingga intelijen sebenarnya sudah memiliki identifikasi tentang NII yang cukup.

"Tokoh-tokoh NII sudah diketahui, titik-titik wilayah yang menjadi basis NII juga sudah diketahui, tapi seolah ada pembiaran tanpa ketegasan, sehingga akan meresahkan masyarakat dan pada titik tertentu akan mengancam NKRI," katanya.

Oleh karena itu, mantan Cagub Jatim itu meminta Mendiknas untuk melakukan koordinasi dengan antar-kepala sekolah dan rektor serta jajaran Kementerian Agama se-Indonesia.

"Dua hari lalu, ada penelitian terhadap anak-anak SMP/SMA pada 100 sekolah di Jakarta dan hasilnya 50 persen mendukung radikalisme dan pengeboman, karena mereka putus asa dengan proses yang ada. Mereka tahu Antasari, Gayus Tambunan, Century, dan sebagainya, mereka bukan anak-anak yang EGP (cuek) terhadap masalah yang ada," katanya.

Ia menilai data itu sebenarnya data lama dan sampai penelitian baru ternyata tidak berubah, karena itu hal itu harus menjadi bukti bahwa radikalisme sudah mengancam pelajar SMP/SMA, terutama di Jakarta, karena itu perlu penyelesaian secara komprehensif mulai dari identifikasi pendidikan dan validasi intelijen.

"UU atau Tap MPR tentang TNI/Polri itu tetap berlaku, tapi perlu ada aturan yang memungkinkan adanya asas kerja sama dan perbantuan, sehingga TNI tidak hanya melihat dari luar tentang radikalisme yang terjadi karena TNI merasa menjadi wilayah polisi. Jadi, perlu diatur asas kerja sama dan perbantuan itu agar tidak saling menunggu," katanya.

Ia menambahkan asas perbantuan itu diharapkan akan menjadi solusi bagi kesan pembiaran oleh negara terhadap upaya pendirian NII yang sudah sangat jelas itu. "Jadi, komitmen TNI, Polri, pemerintah, masyarakat, tokoh masyarakat, ulama, dan politisi perlu di-update," katanya.

(ANTARA/S026)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2011