Mahasiswa suntuk, karena urusan kuliah yang kian berat, tekanan struktural berlapis akibat kecewa melihat perubahan lingkungan sosial ekonomi. Apalagi, pudarnya solidaritas sosial akibat pergaulan eksklusif. Dampaknya mahasiswa mengalami disorientasi
Yogyakarta (ANTARA News) - Masyarakat khususnya yang memiliki anak seusia mahasiswa dalam beberapa pekan terakhir terusik kenyamanannya dan resah atas gejala radikalisasi agama yang melibatkan anak-anak muda.

Hampir setiap hari mereka disuguhi berita adanya perekrutan dan keterlibatan mahasiswa dalam gerakan radikalisasi agama seperti ajaran terlarang Negara Islam Indonesia (NII) maupun perekrutan kelompok gerakan teroris.

Sejumlah sinyalemen menunjukkan bahwa mahasiswa baik dari perguruan tinggi negeri maupun swasta direkrut menggunakan cara-cara cuci otak (brain washing).

Mereka didoktrin paham atau aliran haluan keras tafsir agama. Pikiran ekstrim secara hegemonik telah memasuki keyakinan mereka.

Keresahan orang tua terjadi karena sikap anak-anaknya berubah, cenderung tertutup, mengunci atau membatasi diri berinteraksi bahkan tidak sedikit yang berani melawan orang tua.

"Para kaum muda ini disasar karena mereka dianggap tengah mengalami proses dan fase pencarian pikiran atau jati diri, kemudian ditanamkan sikap militansi," kata Sosiolog Universitas Gadjah Mada Arie Sujito.

Menurut dia, akibat rasionalitas dan kesadaran kritis yang tidak bekerja di benak anak muda, maka doktrin yang menegasi realitas begitu mudah ditanamkan.

"Indoktrinasi sektarian merasuk, manakala kaum muda mengalami ketercerabutan atau kehilangan komunitas sosial kritis tempat belajar," katanya.

Masalah ketercerabutan (asosial) ini persis dialami para mahasiswa lingkaran hedonis, suka hura-hura dan condong keluar dari habitat sebagai pembelajar produktif.

"Mahasiswa suntuk, karena urusan kuliah yang kian berat, tekanan struktural berlapis akibat kecewa melihat perubahan lingkungan sosial ekonomi. Apalagi, pudarnya solidaritas sosial akibat pergaulan eksklusif. Dampaknya mahasiswa mengalami disorientasi," katanya.

Arie mengatakan, seharusnya sistem pendidikan dan budaya di masyarakat yang mewadai pengembangan kesadaran kritis para kaum muda ini, agar mereka berekspresi sesuai minat, mendidik dan cerdas.

"Untuk mengatasi soal indoktrinasi pada mahasiswa tidak cukup sekadar mengejar atau menangkap para pencuci otak, atas nama hukum. Pulihkan segera mahasiswa dari tekanan (stress) karena mereka ini sebenarnya `korban` keyakinan paham keras atas agama," katanya.

Ia mengatakan, untuk jangka panjang, perlu menumbuhkan dan membangun ruang pembelajar kritis dan rasional di kampus dan masyarakat, agar menguat spirit solidaritas berkomunitas.

Fasilitasi penyediaan arena pengembangan pemikiran dan ekspresi kreatif, agar imajinasi kaum muda bermakna sebagai modal dan proses belajar dirinya agar kian matang dan humanis.

"Butuh komitmen dan kerja bareng antara lembaga pendidikan, masyarakat dan kebijakan negara. Semuanya harus saling menopang, baik dari sisi substansi maupun metode belajarnya. Perlu dibendung jebakan jalan sempit saat dimana kaum muda tengah mencari jati dirinya," katanya.

Antitesis atas indoktrinasi ekslusif yang kini menggoncang kaum muda mahasiswa justru terletak dan berasal dari kaum muda itu sendiri, bukan semata pada polisi atau pemburu teroris.

"Inilah tantangan yang perlu dijawab buat negeri ini," katanya.

Dikaji ulang
Kementerian Agama akan segera mengkaji kembali pengajaran agama di sekolah-sekolah dan universitas terkait semakin meningkatnya aksi-aksi dan paham radikal belakangan ini seperti NII.

"Ini memang harus kita cermati, sebagai fenomena meningkatnya paham kekerasan di tengah-tengah masyarakat, kita prihatin, oleh karenanya kementerian agama juga akan melihat lebih dalam berkaitan dengan misalnya kurikulum, kemudian pengajar agama itu sendiri, guru-guru agama," kata Menteri Agama Suryadharma Ali usai rapat komite pendidikan di Kantor Wakil Presiden di Jakarta, Selasa (26/4).

Ia menambahkan, pihaknya juga akan mempelajari hasil penelitian Bambang Pranowo dari UIN yang menyatakan semakin intolerannya guru-guru agama.

Pihaknya juga akan mengundang Bambang Pranowo untuk menjelaskan hasil penelitiannya, termasuk metodologi apa yang disebut intoleran dan sekolah-sekolah mana yang dijadikan tempat penelitian.

"Dengan demikian akan dapat dengan mudah diketahui guru agama yang mana mengajarkan kekerasan, pemahaman yang keras pemahaman yang radikal," katanya.

Selain itu, katanya, pendidikan kebangsaan juga harus lebih ditumbuhkan di sekolah-sekolah, karena pendidikan wawasan kebangsaan nasional saat ini terasa semakin menurun sehingga menjadi celah bagi munculnya paham-paham radikal seperti NII.

Menurut dia, dalam rapat komite pendidikan pada Selasa (26/4) hal itu juga disinggung Wakil Presiden Boediono.

"Pak Wapres tadi minta kepada mendiknas dan menteri agama untuk mempertajam program-program sekolah, termasuk peningkatan kualitas tenaga didiknya," katanya.

Suryadharma juga meminta kepada pers agar memberitakan radikalisme dan NII secara proporsional dan jangan menghakimi suatu institusi pendidikan yang didalamnya terdapat beberapa pelaku teror dan NII.

"Imbauan kepada pers tolong tidak mengkategorikan lembaga pendidikan sebagai lembaga pendidikan yang memproduksi siswa atau mahasiswa beraliran keras, kalau dari lembaga pendidikan itu direkrut NII atau yang lain, jadi jangan langsung misalnya universitas X gitu ya," katanya.

Ia menegaskan, rekruitmen oleh pelaku kekerasan dan teror maupun juga NII bisa terjadi pada siapa saja, dengan latar belakang pendidikan apa saja.

Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof Musa Asyarie mengaku prihatin dengan aksi terorisme yang dikaitkan dengan radikalisasi Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI).

Menurutnya, aksi terorisme tidak ada hubungannya dengan akademik ke-Islam-an ataupun agama Islam itu sendiri.

"Rasanya tidak mungkin aksi itu dilakukan oleh background akademik landasan ke-Islam-an kebangsaan. Apalagi UIN Sunan Kalijaga ini yang mengintegrasikan nilai ke-Islam-an dengan humanisme serta menghormati multikultur," katanya.

Ia mengatakan, meski demikian pihaknya juga tidak memungkiri adanya persinggungan pihak luar yang mempengaruhi pola pikir mahasiswa.

"Hal ini yang mendorong UIN Suka untuk melakukan penelitian lebih dalam, kami sudah punya tim untuk itu. Butuh data tentang sejauh mana persinggungan civitas akademik dengan pihak luar. Ini yang harus didalami, karena nilai yang dibangun di dalam akademik tidak mungkin bisa mengantarkan mahasiswa menjadi radikal," katanya.

Menurut dia, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta juga membuka ruang komunikasi dan dialog dengan mahasiswa dan juga membekali mahasiswa dengan kewirausahawan.

"Semua bermuara pada masalah sosial, terutama pada lapangan pekerjaan. Kalau pengangguran bisa ditanggulangi, maka akan menyempitkan perkembangan aksi teror tersebut," katanya.

Ia mengatakan, kurikulum pembelajaran mahasiswa juga akan didisain ulang, khususnya berkaitan dengan metode pengajaran.

"Intinya, jangan sampai pendapat mahasiswa itu dimatikan, namun harus dibuka ruang dialog sebesar-besarnya. Semua perguruan tinggi juga harus melakukan hal ini," katanya.

Ditangkap
Polisi berhasil menangkap FT (21) mahasiswi sebuah perguruan tinggi swasta di Yogyakarta yang diduga sebagai perekrut anggota NII di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya.

Penangkapan Ft dilakukan di sebuah kos-kosan di Jalan Afandi, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman saat hendak merekrut anggota baru, Jumat (22/4) malam.

"Tersangka ini kami tangkap saat merekrut anggota di sebuah kos. Dia asli Yogyakarta dan sedang kami dalami terus, saat ini pelaku yang sebenarnya juga merupakan korban ini memang tidak kami tahan namun wajib apel," kata Kapolda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Brigjen Pol Ondang Sutarsa Budhi.

Menurut dia, yang bersangkutan ini sebelumnya juga mendapat doktrin untuk merekrut anggota baru. "Kami tetapkan sebagai tersangka, ya karena Ft ini sudah menerima uang dari hasil rekrutannya tersebut," katanya.

Ia mengatakan, Ft sendiri tidak mengenal "atasan" yang menggerakkan kepemimpinan NII wilayah DIY. "Hanya saja, dia bertanggung jawab terhadap anggota yang telah direkrutnya," katanya.

Aksi Ft (21), seorang mahasiswi sebuah perguruan tinggi swasta (PTS) di Yogyakarta yang merupakan perekrut calon anggota Negara Islam Indonesia (NII), terungkap lantaran doktrin-doktrin yang selalu diberikan kepada korbannya.

Yt (21), mahasiswi perguruan tinggi negeri (PTN) di Yogyakarta yang akan direkrut Ft menjadi anggota NII merasa curiga dengan ajaran serta ajakan pelaku.

Kendati beda kampus, namun Yt mengaku mengenal baik sosok Ft yang juga mahasiswi semester VI di perguruan tinggi tempatnya menuntut ilmu. Korban sebelumnya sama sekali tidak menaruh curiga dengan pertemanannya dengan pelaku.

Kecurigaan Yt mulai timbul saat dirinya menjalankan shalat sunat usai salat wajib. Usai salat sunat, Ft langsung mendatangi dan menegur Yt.

"Ft ini bilang, ngapain pakai shalat lagi kok agamamu ribet sekali. Nah, Yt yang imannya kuat kan merasa aneh. Namanya shalat sunat kan biasa dilakukan usai shalat wajib," katanya.

Tidak berhenti disitu, kecurigaan Yt berlanjut saat Ft menginap di kosnya. Pelaku bertindak aneh, yakni mengikuti Yt kemanapun dia pergi.

"Karena curiga ini, lantas Yt lapor ke Ketua RT setempat. Nah, Ketua RT itu meneruskan laporan ke petugas," katanya.

Saat menerima laporan, Ketua RT serta petugas awalnya mengira hanya kasus kecil saja dalam pertemanan. Namun, saat didalami lebih jauh, kasus ini memiliki banyak keterkaitan dengan sebuah organisasi terlarang NII.

"Atas dasar itu, petugas kemudian meringkus Ft di kos calon korbannya Yt ini. Ternyata, setelah kita dalami, memang benar Ft merupakan perekrut calon anggota NII untuk dibawa ke Jakarta dan dibaiat disana," katanya.

Ft sendiri merupakan petugas pelaksana di lapangan saja. Dirinya tidak mengenal orang-orang diatasnya, termasuk orang yang membawa calon anggota tersebut ke Jakarta.

Dari keterangan sementara yang berhasil dirangkum petugas, sudah ada dua kelompok yang membawa mahasiswa DIY ke Jakarta untuk dibaiat menjadi anggota NII. "Saat mendaftar menjadi anggota, masing-masing harus membayar Rp500 ribu dulu," katanya.

Dengan penangkapan Ft ini, Kepolisian khususnya Polda DIY berharap, bisa membuka tabir jaringan di Yogyakarta karena jaringan tersebut mencari sasaran korban para mahasiswa di PTS/PTN di DIY.

"Kami meminta kepada seluruh civitas akademika turut andil dalam pengawasan mahasiswanya. Selain itu, Camat, Lurah, Ketua RW maupun RT juga harus berperan aktif. Perekrutan ini tidak hanya dilakukan di kampus, tapi juga terjadi di kos-kosan," katanya.

Ia mengatakan, diharapkan semua elemen masyarakat turut terlibat. "Mereka yang ke Yogyakarta untuk belajar, jangan sampai terjebak dalam perekrutan organisasi yang dilarang di Indonesia ini," katanya.
(V001/A025)

Oleh Victorianus Sat Pranyoto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011