Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Harry Azhar Aziz mengatakan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) harus mendukung putusan arbitrase internasional mengenai divestasi saham PT Newmont Nusa Tenggara (NTT)  pada Maret 2009. Putusan arbitrase internasional itu adalah mendorong daerah untuk memiliki saham divestasi saham sepenuhnya .

"Jadi Menteri ESDM Darwin Zahedy Saleh seharusnya mendukung putusan arbitrase internasional ini. Sebab yang mendorong arbitrase adalah pemerintah, ya sepatutnya pemerintah mematuhi putusan ini," ujar Harry di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis.

Harry menjelaskan,  putusan arbitrase itu sesuai dengan perjanjian kontrak karya PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) dengan pemerintah Indonesia dan  Kementerian ESDM bertanggungjawab dalam hal penegakkan hukumnya.

"Kalau Kementerian Keuangan memang bertanggung jawab soal keuangannya. Tapi Kementerian ESDM tidak boleh lepas tangan dalam tarik menarik sisa saham PT NNT sebesar tujuh persen," kata anggota DPR RI asal fraksi Golkar itu.

Ia menyebutkan, pada tahun 2006 Menteri Keuangan ketika itu Sri Mulyani mengeluarkan dua surat yang intinya pemerintah pusat tidak berminat untuk membeli saham Newmont. Tapi pada tahun 2009, Sri Mulyani mengubah dan menyatakan pemerintah berkeinginan membeli saham Newmont.

"Kami jadi mempertanyakan, ada apa? Mengapa pemerintah berubah pikiran?" katanya.

Karena perubahan sikap pemerintah itu, Komisi XI DPR RI saat rapat kerja dengan Menkeu Sri Mulyani membuat kesepakatan bahwa pembelian saham oleh pemerintah tidak boleh menggunakan dana untuk infrastruktur (PIP) . Kesepakatan itu juga dibuat lagi ketika raker terakhir dengan Menkeu Agus Martowardoyo.

"Jadi kesepakatan itu tidak berubah dan belum dicabut," tegas Harry.

Terkait dengan pernyataan pengamat ekonomi Anggito Abimayu bahwa kesepakatan tersebut tidak mengikat, Harry merasa tersinggung dan berang.

"Kalau Anggito mengatakan tidak mengikat, dasarnya apa? Paling tidak secara moral ada ikatan. Kalau kita ikuti pikiran Anggito, berarti kesepakatan apa pun dengan Menkeu tidak bisa dipegang. Apa jadinya kalau begini?" tanyanya.

Ia menambahkan, penolakan pengambilan sisa saham tujuh persen oleh pemerintah daerah sangat bertolak belakang dengan fakta bahwa pemerintah terus mendorong investasi, baik asing maupun nasional untuk ikut menggerakkan roda ekonomi dan mempercepat pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Ekonom Universitas Gadjah Mada Anggito Abimanyu menyarankan pemerintah pusat bertemu dengan pemerintah provinsi Nusa Tenggara Barat untuk membicarakan pembelian tujuh persen saham divestasi PT Newmont Nusa Tenggara.

"Pemerintah pusat dan daerah sebaiknya berembuk," katanya.

Anggito mengatakan bisa saja skema pembelian saham divestasi sebesar tujuh persen itu dibeli oleh pemerintah pusat, tapi kemudian antara pusat dan daerah melakukan pembicaraan.

"Bisa saja yang dari 7 persen itu kemudian dibagi masing-masing 3,5 persen, antara pusat dan daerah," katanya.

Bahkan menurut mantan kepala Badan Kebijakan Fiskal ini, bisa saja saham 7 persen yang dibeli oleh pemerintah pusat itu kemudian diserahkan atau dihibahkan kepada pemerintah daerah. “Bisa saja, mengapa tidak bisa,” katanya saat ditanya kemungkinan menerapkan skema pembelian tersebut.

Dalam hitung-hitungan Anggito, apabila pemerintah provinsi NTB membeli saham divestasi 7 persen tersebut, justru akan membuat porsi kepemilikan saham pemerintah daerah mengecil. “Tapi kalau dibagi sama pemerintah pusat bisa sampai 3,5 persen,” katanya.
(zul)

Pewarta: Zul Sikumbang
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2011