Jakarta (ANTARA News) - Jika orang memperlihatkan wajah manusia kepada komputer, alat itu bertindak lebih baik dalam mengenali tanda gangguan hormon langka, demikian laporan beberapa peneliti di dalam satu studi baru.

Di dalam studi tersebut, dengan menganalisis gambar wajah manusia, sistem komputer secara benar mengidentifikasi tujuh dari setiap 10 orang memiliki "acromegaly", kondisi yang mengarah kepada pertumbuhan besar pada tulang dan jaringan --termasuk yang ada di wajah.

Para ahli juga mampu secara tepat menunjukkan orang dengan "acromegaly", rata-rata enam dari 10 kali.

"Saya harus mengatakan saya terkejut," kata Dr. Harald Schneider, pemimpin penulis studi itu dan peneliti di Ludwig-Maximilians University di Jerman. Ia menulis di surat elektronik kepada Reuters Health, yang dipantau ANTARA di Jakarta, Sabtu.

Orang dengan "acromegaly" memiliki terlalu banyak hormon pertumbuhan, yang dapat mengakibatkan beragam masalah. Mereka biasanya memiliki lidah dan rahang besar, gigi dengan ruang lebar, dan tulang besar di dahi serta pipi.

Sebanyak enam dari setiap 100.000 orang memiliki "acromegaly".

Di dalam studi itu, para peneliti tersebut mengambil gambar wajah samping dan bagian depan dari 57 orang dengan "acromegaly" dan 60 orang tidak. Semua peserta berasal dari keturunan Kaukasia dengan usia sebaya.

Para peneliti itu menulis satu program komputer yang menganalisis ciri khas wajah, seperti jarak antara rangka.

Komputer tersebut mengalahkan para dokter dalam mengidentifikasi mereka yang memiliki "acromegaly" dan orang yang tidak.

"Tampaknya program komputer lebih baik dalam mendeteksi semua keterangan yang ada di satu wajah dibandingkan dengan seorang dokter kawakan sekalipun, setidaknya dengan melihat gambar," kata Schneider.

Hanya melihat gambar tak menguntungkan buat para dokter. Schneider mengatakan para ahli mungkin bisa bertindak lebih baik jika diberi kesempatan untuk melakukan pemeriksaan normal pasien, termasuk kaki dan tangan mereka. Juga tak ada keterangan mengenai gejala pada manusia.

Schneider mengatakan ia sangat terdorong oleh kemampuan komputer untuk mendeteksi kasus sedang "acromegaly". Pada kasus itu, perangkat lunak benar hampir enam dari 10 kali, tapi manusia tepat hanya empat dari 10 kali.

Bisa mendiagnosis "acromegaly" lebih cepat pada pasien, sebelum kondisi tersebut berkembang jadi bentuk yang lebih parah, akan sangat meringankan penderitaan dengan memberi orang kesempatan untuk menjalani perawatan lebih dini, kata Schneider.

Studi itu didanai oleh German Research Foundation Grant, dan sebagian penulisnya telah menerima bayaran sebagai pembicara dan tanggungan perjalan dari perusahaan farmasi yang memasarkan obat buat "acromegaly".

"Saya memandang yang satu ini sebagai potongan bukti lain yang menambah sejumlah penelitian yang berkembang bahwa sistem yang dilandasi komputer dapat mendiagnosis pasien secara baik atau lebih baik dibandingkan dengan manusia ahli diagnosis," kata Dr. James Mazoue, profesor filsafat yang menjadi direktur program "daring" (dalam jaringan) di Wayne State University.

Sejauh ini, tak ada sistem diagnosis yang dilandasi komputer yang telah menggantikan pemeriksaan teliti oleh manusia.

"Pap smear", yang digunakan untuk mendeteksi sel tengkuk yang tidak normal pada perempuan, misalnya, dapat melakukannya melalui layan optik komputer, tapi juga dapat menerima analisis manusia.

Mazoue, yang tak terlibat di dalam studi tersebut, percaya secara moral penting bagi bidang medis untuk melanjutkan diagnostik yang berlandaskan komputer jika perangkat itu dapat melakukannya lebih baik daripada manusia.

"Kita perlu menjauhkan diri kita dari praktek warisan ini, yang dilandasi atas intuisi manusia. Saya benar-benar tak meragukan bahwa pada masa depan dari sana lah semuanya beranjak," kata Mazoue kepada Reuters Health.

Program pendeteksian "acromegaly", kata Schneider, belum siap untuk kantor dokter.

Meskipun komputer bagus dalam menganalisis orang mana yang memiliki "acromegaly", alat itu tak terlalu bagus dalam menunjukkan siapa yang tidak. Komputer secara keliru mendiagnosis "acromegaly" pada hampir sembilan persen orang yang tak memiliki kelainan tersebut.

Studi itu, yang disiarkan di The Journal of Clinical Endocrinology and Metabolism, juga tak mencakup orang dari ras lain.

"Itu adalah contoh yang terlalu kecil untuk memperoleh semua variasi `acromegaly` pada semua orang," kata Dr. Randolph A. Miller, profesor informatika biomedis di Vanderbilt University --yang tak terlibat di dalam studi tersebut.

Miller mengatakan ia ingin melihat satu program yang dapat secara benar mengidentifikasi orang yang tak memiliki "acromegaly" 99,9 persen kali sebelum program itu digunakan untuk praktek. Tapi ia menyebut sistem tersebut "teknologi muda yang menjanjikan".
(*)

Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2011