Kendari (ANTARA News) - Film dokumenter Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara, yang berkisah tentang cinta segi tiga antarabudaya, keindahan alam dan kelestarian lingkungan segera dijadikan film komersial.

"Dalam waktu dekat film yang disutradarai Andini Karmila Sari itu segera diputar di bioskop Studio 21 Jakarta," kata Bupati Wakatobi Hugua kepada ANTARA melalui telepon dari Wakatobi, Minggu.

Menurut Hugua, pemutaran perdana film dokumenter Wakatobi yang direncanakan tanggal 29 Mei nanti, akan disaksikan sejumlah pejabat penting dan anggota DPR RI termasuk Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri.

Film yang diproduksi Pemerintah Kabupaten Wakatobi bekerja sama dengan WWF itu, kata dia, mengandung pesan bagaimana masyarakat memperlakukan alam dan sebaliknya alam memberikan rezeki berkelimpahan kepada manusia di sekitarnya.

"Oleh masyarakat etnis Bajo Wakatobi, cara menghargai alam dengan segala kemurahannya itu, dikenal dengan tradisi `Duata`, yakni tradisi meleburkan semua pemangku kepentingan di dalam tatanan masyarakat etnis Bajo Wakatobi," katanya.

Dalam tradisi `Duata` jelas Hugua, masyarakat Wakatobi menganggap bahwa saat hasil tangkap ikan para nelayan lagi berkurang, itu pertanda penguasa laut lagi marah.

Untuk meredam kemarahan tersebut ujarnya, masyarakat melarung sesajen di laut dan berhenti melaut dalam beberapa hari.

"Biasanya, setelah memperlakukan alam seperti itu, hasil tangkapan ikan para nelayan kembali melimpah," katanya.

Bupati Hugua mengatakan, seluruh keuntungan yang akan diperoleh dari hasil penjualan karcis film yang dibintangi Atiqah Hasiholan itu, akan didedikasikan untuk memperbaiki lingkungan terutama terumbu karang di kawasan pesisir Kepulauan Wakatobi.

Sebab dengan kondisi lingkungan yang tetap lestasi, tidak hanya bisa mengendalikan laju pemanasan iklim global di bumi, akan tetapi juga dapat memberi kesejahteraan masyarakat di muka bumi.

"Alam mengajarkan, jika kita memberikan sesuatu kepada bumi, seperti menanam padi satu biji, alam akan mengembalikannya satu bulir yang di dalamnya berisi puluhan bahkan ratusan biji padi," katanya.

Masyarakat Wakatobi, menurut Hugua, sangat memahami kondisi alam dengan segala kemurahannya tersebut, sehingga setiap terjadi gejala alam yang menyusahkan dan menyengsarakan, masyarakat Wakatobi memaknainya sebagai kemarahan alam terhadap manusia yang telah memperlakukannya secara semena-mena.

"Karena memahami alam seperti itu, maka masyarakat Wakatobi sangat piawai dalam berinteraksi dengan lingkungan alam semesta. Mereka mengambil sesuai di alam, tanpa merusak alam," katanya.(*)

(T. SO32/R007)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011