Padang (ANTARA) - Arus perubahan yang demikian kencang ditunjang perkembangan ilmu dan teknologi menyebabkan banyak hal tergerus, salah satunya seni, tradisi dan budaya yang sesungguhnya memuat nilai-nilai kearifan, tidak terkecuali di Ranah Minang.

Dunia yang semakin tanpa sekat membuat sebagian generasi terbawa arus. Larut dalam nilai-nilai budaya asing yang sengaja atau tidak, terimplementasi dalam pergaulan keseharian.

Hal yang kemudian membuat generasi muda semakin jauh, bahkan mungkin telah tercerabut dari akar adat budaya sendiri, dari kearifan yang telah menciptakan masyarakat Minangkabau dan segala budaya pendukungnya.

Salah satu budaya yang mulai jarang ditemui terutama di perkotaan di Ranah Minang, menurut tokoh adat Yus Dt Parpatiah adalah tradisi pasambahan atau panitahan.

Pidato pasambahan adalah semacam komunikasi tradisional Minang antara dua pihak yang menjadi juru bicara yang mewakili tamu dalam alek (kenduri) dan mewakili tuan rumah atau biasa disebut pangka.

Pasambahan merupakan seni berkomunikasi, berdialog antara dua pihak yang mewakili kubu masing-masing. Karena itu adalah seni, maka di dalamnya terajut pemahaman tentang istilah adat itu sendiri, yang terhimpun dalam dialog.

Pasambahan atau panitahan menjadi sebuah cara untuk saling menghormati. Manitah layaknya dari rajo (raja) kepada rakyat, sementara sambah adalah dari hamba kepada raja. Jadi dalam dialog itu ada rasa saling menghormati dengan memposisikan lawan bicara adalah raja dan diri sendiri adalah rakyat, demikian yang terjadi bergantian antara juru bicara tamu dan tuan rumah.

Akan tetapi dalam dialog itu kadang terjadi "ajuak ma ajuak" (saling puji), pantun ma mantun. Bahkan seakan-akan ada semacam berdebat. Padahal tidak. Karena nilai yang dibawakan dalam pasambahan adalah rasa saling menghormati dan menghargai.

Baca juga: LKAAM : Penamaan rumah makan ekstrem tidak sesuai dengan adat Minang

Cara untuk mendengar

Pasambahan itu biasa dilakukan saat mempersilahkan tamu untuk makan dengan sopan santun. Tamu pun tidak langsung makan, harus mufakat dahulu antara sesamanya. Kalau sepakat maka diterima, tetapi tetap dengan bahasa basa basi, juga mengajak tuan rumah untuk ikut makan bersama.

Namun, sekarang makan bajamba (hidangan makan bersama khas Minangkabau) mulai jarang dilakukan bahkan di daerah perkotaan boleh dikatakan tidak ada lagi.

"Sudah prasmanan. Siap saji. Sehingga tidak ada lagi ruang untuk pasambahan karena pasambahan itu dilakukan di hadapan jamba, hidangan sepanjang rumah yang diletakkan antara tuan rumah dan tamu," ungkapnya.

Agar nilai-nilai budaya tersebut tidak benar-benar punah tergerus, dibutuhkan upaya bersama untuk menggali, melestarikan dan mengimplementasikan kembali dalam keseharian.

Gubernur Sumbar, Mahyeldi mengungkapkan pasambahan pada hakekatnya bukan hanya sekadar seni dan basa basi untuk mempersilahkan tamu untuk makan. Tetapi lebih dari itu adalah sebuah peristiwa yang bisa memupuk nilai kepemimpinan dalam generasi muda.

Dalam pasambahan dipelajari cara menghargai, memahami yang tersurat dan tersirat, beretika saat dialog. Dalam pasambahan juga diajarkan cara untuk berbicara di depan umum dan yang terpenting adalah belajar mendengar.

Karena seorang pemimpin itu tidak hanya harus dibekali cara untuk bicara tetapi juga cara untuk mendengar sehingga bisa lebih bijak dalam mengambil keputusan. Karena itu tradisi pasambahan harus terus dipertahankan dan dilestarikan.

Baca juga: Pakaian adat Minang-Tionghoa-India dikenakan petugas TPS di Padang

Kekerasan seksual

Kepala Dinas Kebudayaan Sumbar, Gemala Ranti menyebutkan peran lembaga yang dipimpinnya salah satunya memiliki tupoksi untuk melakukan pembinaan terhadap generasi muda guna melestarikan warisan budaya Adaik Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah (ABS – SBK).

Beberapa kegiatan telah digelar untuk mewujudkan hal tersebut diantaranya Workshop Pengamalan ABS – SBK Bagi Generasi Muda yang berasal dari daerah Kabupaten Limapuluh Kota dan Kota Payakumbuh di Perkampungan Adat Balai Kaliki Kota Payakumbuh 3-5 Desember 2021. Tujuannya adalah untuk meningkatkan pemahaman dan pengamalan generasi muda terhadap Adaik Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah.

Guna menunjang upaya itu Dinas Kebudayaan Sumbar juga telah menyelesaikan sebuah buku pedoman pengamalan ABS – SBK yang disusun oleh para pakar pada tahun 2019.

Dokumen ini merupakan tonggak sejarah penting dalam perjalanan perkembangan kebudayaan Minangkabau yang berintikan Adaik Nan Sabana Adaik, Nan Tak Lapuak Dek Hujan – Nan Tak Lakang Dek Paneh, Jikok Diasak Indak Layua – Jikok Dibubuik Indak Mati, Adaik Basandi Syara’ – Syara’ Basandi Kitabullah, Adaik Bapaneh – Syara’ Balinduang, Syara’ Ka Ganti Nyawa – Adaik Ka Ganti Tubuah, Syara’ Mangato – Adaik Mamakai, Syara’ Nan Lazim – Adaik Nan Qawi, Adaik Babuhua Sintak – Syara’ Babuhua Mati.

Narasumber yang dihadirkan dinilai kompeten di bidangnya masing-masing Ketua DPRD Sumbar, Supardi dengan materi “Tantangan Generasi Muda Dalam Mewarisi Kearifan Lokal di Era Global”.

Lalu, Buya Gusrizal Gazahar yang merupakan seorang Ketua MUI Sumatera Barat dengan materi “Filosofi Adat Basandi Syara’ – Syara’ Basandi Kitabullah”.

Kemudian, Emeraldy Chatra, M.I.Kom, yang merupakan akademisi dengan materi “Tradisi Bacarito Sebagai Pembentukan Karakter Masyarakat Minangkabau”.

Selanjutnya, Yus Datuak Parpatiah yang merupakan tokoh masyarakat Sumatera Barat dengan materi “Metode dan Praktek Pidato Pasambahan Adat Minangkabau”.

Berikutnya, Vembi Fernando, ST yang merupakan CEO Info Sumbar dengan materi “Pentingnya Industri Kreatif Dalam Pelestarian Adat dan Budaya”.

Berbicara juga Ketua DPRD Sumbar Supardi menuturkan pentingnya pendidikan moral dalam falsafah Adat Basandi Syarak Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) bagi generasi muda untuk mencegah terjadinya kasus kriminal seperti pencurian, kekerasan seksual, narkoba dan lainnya.

"Pendidikan moral kepada generasi muda untuk mengantisipasi kasus-kasus yang bisa mencoreng ABS-SBK, salah satunya kekerasan seksual pada anak di bawah umur," katanya.

Beberapa waktu terakhir, Sumbar memang dihebohkan oleh kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak di bawah umur, bahkan perbuatan menyimpang itu melibatkan seorang kakek kepada cucunya.

Menggali kembali nilai-nilai kearifan lokal dalam adat budaya diharapkan menjadi salah satu solusi untuk mengembalikan pinang pada tampuknya, mengembalikan masyarakat pada nilai-nilai kearifan budaya.*

Baca juga: Pakaian Perkawinan Indonesia Memikat Belgia

Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2021