Campur-tangan oleh sebagian negara Barat di Libya telah menjadi preseden di wilayah ini,"
Jakarta (ANTARA News) - Dua bulan sudah aliansi Barat, yang dipelopori Amerika Serikat, membom Libya dengan tujuan "menyalamatkan warga sipil dari tentara pemerintah", tapi pertempuran tak kunjung usai dan tak ada tanda militer bisa menengahi kesepakatan.

Pasukan NATO telah melancarkan aksi pemboman udara terhadap sasaran militer Libya sejak Maret, tapi sejauh ini gagal mencegah militer Gaddafi membunuh sejumlah warganya sendiri di kota besar dan kecil yang dikuasai pemberontak. Pencegahan tersebut dinyatakan sebagai sasaran resolusi PBB yang mensahkan misi sekutu.

Mulanya perlindungan udara Barat dan serangan terhadap pasukan Gaddafi diharapkan akan memberi pemberontak keseimbangan sementara tentara pemerintah menyembunyikan pasukan mereka di dekat daerah sipil "sehingga pasukan NATO tak berani menyerang".

Pemimpin Libya Muamar Gaddafi jelas menyadari bahwa NATO takkan membiarkan dia meraih kemenangan sementara pemberontak melihat batas dalam aksi koalisi Atlantik Utara tersebut.

"Sebenarnya ada ruang bagi penyelesaian politik," kata Direktur dan Staf Senior di Center on International Cooperation di New York University, Bruce Jones, kepada kantor berita China, Xinhua, pada April.

Sekretaris Jenderal NATO Jenderal Anders Fogh Rasmussen, dalam pertemuan menteri luar negeri NATO di Berlin, Jerman, pertengahan April, pun mengakui bahwa aksi militer saja tak bisa menghasilkan penyelesaian bagi krisis di negara Afrika Utara tersebut.

Aliansi itu sendiri menghadapi ketidakkompakan --14 dari 28 anggotanya-- terlibat aktif dan berusaha menembus apa yang muncul sebagai kebuntuan di lapangan. Pasukan Gaddafi menguasai hampir seluruh bagian barat sementara pemberontak menduduki bagian timur negeri tersebut.

Meskipun begitu Rasmussen menganggap "waktunya sudah selesai" buat Gaddafi.

"Kami telah menghentikan Gaddafi di tengah jalan. Waktunya sudah habis. Ia kian terkucil," kata Rassmussen, sebagaimana dikutip AFP --yang dipantau ANTARA di Jakarta, Senin.

Dalam upaya mencari penyelesaian krisis bagi krisis di Libya, para pemain regional seperti Turki --dengan dukungan utusan khusus PBB untuk Libya-- bermaksud memainkan peran penting.

Liga Arab sendiri pada April mendukung Resolusi 1973 PBB --yang mensahkan zona larangan di wilayah udara Libya untuk melindungi warga sipil-- tapi tak bisa berbuat lebih jauh.

Menurut Bruce Jones, Uni Afrika (AU) --yang terdiri atas negara yang memiliki ikatan erat dengan Libya setelah Gaddafi memimpin organisasi itu dua tahun lalu "dapat memainkan peran dalam penyelesaian konflik tersebut, tapi takkan menjadi pemimpin".

Campur tangan asing
Meskipun keraguan muncul mengenai campur tangan asing setelah kegagalan Barat dalam membangun kembali berbagai negara di dunia Arab, terutama di Irak dan Afghanistan, pemberontak Libya dapat meraih keuntungan dari penyelesaian diplomatik. Setidaknya, menurut Jones, pembagian kekuasaan bisa dilakukan di negara yang masih berdiri tegak, daripada meraih kekuasaan di negara yang sudah ambruk.

Namun setiap penyelesaian politik mesti dikendalikan oleh rakyat Libya sendiri. Kekuatan asing tak bisa memaksakan mengenai apa yang boleh dan tak boleh dilakukan.

Kondisi itu juga diakui oleh pemimpin NATO Ander Fogh Rasmussen.

"Pertama-tama, kita harus menyadari tak ada penyelesaian militer. Kita akan memerlukan penyelesaian politik", guna menembus kebuntuan," katanya sebagaimana dilaporkan AFP.

Campur-tangan militer asing bukan menyelesaikan, tapi memperburuk, krisis di Libya, dengan resiko konflik tersebut akan memecah-belah negeri itu.

"Campur-tangan oleh sebagian negara Barat di Libya telah menjadi preseden di wilayah ini," kata Ahmed Adhimi, profesor di Aljiers University, dalam satu konferensi dengan judul "Krisis di Libya, Kenyataan dan Peningkatan" di pusat kajian strategis harian Echaab, sebagaimana dikutip kantor berita Aljazair, APS.

Perubahan alur kejadian dalam pemberontakan di Libya memperlihatkan konflik tersebut bisa berlangsung lama dan membuatnya terpecah jadi dua wilayah --bagian barat dipimpin oleh Gaddafi dan timur dikuasai Dewan Peralihan Nasional --yang mewakili pemberontak.

Wanita jurubicara NATO Oana Lungescu pada April juga menegaskan bahwa tak ada penyelesaian militer semata-mata bagi konflik Libya. Itu sebabnya mengapa sangat penting untuk menemukan penyelesaian politik.

Namun Rasmussen tak bisa menerima jika Gaddafi tetap memainkan peran. sulit "untuk membayangkan semua serangan --serangan sistematis yang memalukan terhadap rakyat Libya, akan berhenti selama Gaddafi tetap berkuasa", katanya.

"Permainan sudah selesai buat Gaddafi. Ia mesti menyadari secepatnya, sebelum terlambat, bahwa tak ada masa depan buat dia dan rejimnya," kata Sekretaris Jenderal NATO tersebut dalam program CNN "State of the Union" --sebagaimana dilaporkan AFP.
(C003/A011)

Oleh Chaidar Abdullah
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011