Jakarta, (ANTARA News) - Perubahan iklim global dan penggundulan hutan diduga merupakan penyebab, dua musibah tanah longsor beruntun yang menimpa Jember, Jawa Timur (3/1) dan Banjarnegara, Jawa Tengah (4/1) yang menimbulkan korban tidak sedikit jumlahnya. Pernyataan tersebut diungkapkan oleh Deputi Kementerian Negara Lingkungan Hidup Bidang Pembinaan Sarana Teknis dan Peningkatan Kapasitas, Isa Karmisa di Jakarta, Kamis (5/1). "Kasus tanah longsor yang terjadi di Jember dan Banjarnegara itu berbeda, jika di Jember diperkirakan akibat perubahan iklim maka di Banjarnegara kalau tidak salah karena penggundulan hutan," katanya. Menurut dia, untuk wilayah Jember tutupan lahannya masih terlihat bagus dari foto satelit di mana itu berarti kondisi hutan di Jember masih cukup bagus. "Oleh karena itu saya memperkirakan kasus di Jember terjadi karena dampak dari perubahan iklim global," katanya. Dia mengatakan, kerusakan lingkungan di dunia terutama disebabkan oleh dua hal yaitu perubahan iklim global akibat berbagi hal seperti penggundulan hutan dan pencemaran serta rusaknya lapisan ozon. "Pertemuan Menteri Lingkungan Hidup sedunia di Kutub Utara tentang fenomena pemanasan global mencatat bahwa suhu di bumi itu meningkat sekitar 2 derajad celcius sampai 3 derajad celcius. Akibatnya salju beku di sana mencair dan membentuk semacan bendungan yang kalau jebol maka permukaan air dapat naik sampai 7 meter," katanya. Itulah sebabnya, negara-negara dengan potensi hutan yang sebetulnya bagus diharapkan mampu menjaga kelestarian hutannya untuk membendung efek pemanasan global itu. Lebih lanjut dia mengatakan, dampak dari perubahan iklim mengakibatkan berbagai peristiwa bergeser dari kondisi semestinya. "Bayangkan saja, badai katrina yang dahulu selalu terjadi di laut tiba-tiba muncul di darat dan memakan korban ribuan jiwa," ujarnya. Peristiwa bencana banjir bandang dan tanah longsor di Desa Kemiri, Kecamatan Panti, Jember diduga terjadi bukan sebagai akibat penggundulan hutan tetapi karena tingginya debit air di kawasan Argopuro --atas--, sehingga telaga-telaga kecil yang ada sekitar kawasan tersebut --cekungan-- tidak mampu menampung debit air dari curah hujan yang tinggi --115 ml/dt--. Oleh karena itu, di kawasan pegunungan Argopuro perlu direkonstruksi tanaman, menjadi tanaman keras, sehingga mempunyai daya serap tinggi dan mampu menahan air bila terjadi curah hujan deras. Tanaman kopi yang ada saat ini sudah sepatutnya diganti karet atau jati yang secara ekonomi bernilai cukup tinggi. Semenatara itu mengenai peristiwa serupa yang terjadi di Dusun Gunungraja, Desa Sijeruk, Kecamatan Banjarmangun, Kabupaten Banjarnegara, Rabu (4/1) sekitar pukul 05.00 WIB, Isa belum dapat berkomentar banyak. "Saya mendengar tentang kemungkinan adanya penggundulan hutan di sana tetapi perlu dikaji lebih lanjut," katanya. Tetapi, dia menambahkan, KLH akan terus berupaya untuk meminimalkan kerusakan lingkungan. Sekalipun begitu, menurut Isa, dua wilayah di Jember dan Banjarnegara tersebut tidak termasuk dalam daerah rawan bencana dalam laporan tentang status lingkungan hidup 2004 yang diterbitkan KLH pada 2005. Saat ditanya lebih lanjut apakah pengawasan lingkungan hutan nantinya akan mejadi salah satu tugas Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) KLH, Isa mengatakan selama ada unsur perusakan lingkungan maka PPNS akan bergerak. Terkait musibah itu maka Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar dikabarkan tengah meninjau ke lokasi bencana pada hari ini (Kamis -- red). Ancam Jawa Sementara itu Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menyatakan bahwa, bencana banjir yang menelan korban jiwa dan kerugian materiil cukup besar di Jember adalah fakta kesekian kalinya untuk mengingatkan bahwa Pulau Jawa berada dalam kondisi kritis dan rawan bencana. Dengan luas 13 juta hektar, Pulau Jawa hanya memiliki 1,9 juta hektar tutupan hutan yang tersebar di berbagai provinsi sehingga dengan kondisi seperti itu, praktis Jawa menjadi pulau dengan tingkat kerawanan bencana yang cukup tinggi. Menurut Direktur Eksekutif Walhi, Chalid Muhammad, banjir bandang hanyalah salah satu indikator adanya kerusakan pada kawasan hutan sehingga tidak tertutup kemungkinan bencana lainnya akan mendatangi Jawa dan menjadi" menu tahunan" masyarakat Jawa. Walhi menilai, bencana banjir bandang di Jember itu tidak terlepas dari inkonsistensi peruntukan kawasan di daerah hulu sehingga berpengaruh pada kawasan di bawahnya. "Pemerintah cenderung melakukan praktek pembiaran atas kawasan-kawasan yang memiliki hidro-orologis," katanya. Wilayah Keputran, misalnya, dengan kelerengan lebih dari 40 derajat seharusnya tidak diperuntukkan bagi kawasan budidaya, namun wilayah itu justru menjadi sentra penghasil kopi. Demikian pula dengan wilayah Besuki dan Rembangan dengan bukaan hutan yang luar biasa sehingga berpengaruh pada fungsi hidro-orologis hutan. Pulau Jawa, menurut Chalid, pada dasarnya telah mencapai titik jenuh. Dengan jumlah penduduk yang kian padat telah memacu konversi lahan yang dilakukan secara membabi buta dan menempatkan Jawa sebagai kawasan dengan potensi bencana cukup tinggi. "Sudah saatnya pemerintah berkomitmen dan bertindak nyata untuk menyelamatkan Pulau Jawa. Semua bisa dimulai dengan mengoreksi ulang kebijakan ruang pengelolaan sumber daya alam secara mendasar," demikian Chalid.(*)

Copyright © ANTARA 2006