Aljirs (ANTARA News/Reuters) - Televisi Libya pada Kamis melaporkan bahwa gedung Kedutaan Besar Korea Utara di Tripoli hancur akibat serangan udara Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).

Berita itu, yang muncul dalam cuplikan di televisi al-Jamahiriyah, menyatakan gedung kedutaan tersebut rusak parah akibat serangan NATO atas tempat umum dan tentara di ibu kota Libya itu.

Kabar tersebut tidak merinci apakah kedutaan itu terhantam langsung atau kapan peristiwa tersebut terjadi.

Rusia pada tengah April menyatakan upaya Barat menumbangkan Muammar Gaddafi melanggar resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Libya, yang hanya memberi wewenang penggunaan kekuatan untuk melindungi warga.

"Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak pernah bertujuan menumbangkan penguasa Libya," kata Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov, dan menambahkan, "Semua, yang sekarang memakai resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa itu untuk tujuan tersebut, melanggar amanat PBB."

Karena kedudukan Barat seperti itu, lawan Libya menolak merundingkan gencatan senjata dengan penguasa di Tripoli, kata Lavrov. "Adalah penting mewujudkan gencatan senjata," katanya saat berkunjung ke Beograd.

Lavrov menyatakan harapan lawan akan mendapat bantuan Barat adalah nalar sangat berbahaya, yang dapat mengakibatkan rantai tanggapan.

"Semua, yang bertanggung jawab, khususnya anggota Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, tidak boleh membuka peluang untuk sengketa, tapi mengupayakan perundingan," demikian Lavrov.

Ketua Afrika Bersatu Teodoro Obiang Nguema mengutuk campur tangan tentara asing di Pantai Gading dan Libya, dengan mengatakan bahwa Afrika harus dibolehkan mengelola urusannya.

"Afrika tidak memerlukan pengaruh dari luar. Afrika harus mengelola sendiri urusannya," kata Obiang Nguema, yang juga presiden Guinea Khatulistiwa, dalam muktamar antarbangsa di Jenewa pada awal April.

"Saya percaya bahwa masalah di Libya harus diselesaikan dalam kerangka dalam negeri dan bukan melalui campur tangan, yang dapat muncul untuk menyerupai campur tangan kemanusiaan. Kita telah melihat itu di Irak," kata Obiang Nguema.

Perdana Menteri Rusia Vladimir Putin pada ahir Maret mengutuk resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang memungkinkan tindakan tentara di Libya sebagai "seruan perang salib pada abad pertengahan" dan mengecam Washington untuk kesiapannya memamerkan kekuatan.

Dalam satu dari pernyataan paling kerasnya terhadap Barat dalam beberapa tahun belakangan, orang secara nyata nomor satu di Rusia itu mengatakan tidak ada nalar atau nurani pada tindakan tentara tersebut.

"Resolusi Dewan Keamanan itu, tentu saja, cacat dan tidak sah," kata kantor berita Rusia mengutip keterangan Putin kepada pekerja pada kunjungan ke salah satu pabrik peluru kendali di negara tersebut.

"Bagi saya, itu menyerupai seruan perang salib pada abad pertengahan ketika seseorang menarik orang lain untuk pergi ke tempat tertentu dan membebaskan yang lain," katanya.

Inggris dan Prancis mendesak sekutu lain di NATO menyumbang lebih banyak pesawat tempur, yang mampu menghantam pasukan darat Gaddafi sesudah Washington mengurangi perannya di gerakan itu dan menyerahkan kepemimpinan kepada NATO pada 31 Maret.

Lavrov menyatakan, lawan di Yaman agaknya juga mengharapkan bantuan Barat, seperti gerakan NATO di Libya, untuk menggulingkan Presiden Ali Abdullah Saleh.

"Dengan kemungkinan memakai nalar sama, lawan di Yaman menolak kemungkinan duduk di meja perundingan, dengan mengharapkan bantuan semacam itu dari luar negeri," kata Lavrov.(*)
(Uu.B002/Z002)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011