Jakarta (ANTARA News) - Menhut MS Kaban menilai keberadaan masyarakat di daerah yang sensitif terkena bencana alam harus ditinjau ulang dan kemungkinan perlu direlokasi untuk mengurangi risiko yang akan mereka terima dan hilangnya nyawa. "Mereka dapat direlokasi ke areal milik Perum Perhutani yang lebih aman dan menjalin kerjasama dengan BUMN ini melalui kegiatan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM)," kata Menhut di Jakarta, Jumat, usai melakukan peninjauan lapangan dan pemeriksaan melalui udara kawasan bencana longsor di Banjarnegara. Sementara itu, areal yang mengalami bencana diserahkan kepada BUMN di lingkungan kehutanan itu untuk direhabilitasi dan diperkaya jenis tanamannya dengan pohon kayu untuk lebih memperkuat struktur tanah. Masalahnya, menurut dia, apakah masyarakat yang sudah biasa tinggal di lereng gunung atau bukit mau direlokasi ke daearah yang lebih aman di dataran rendah, terkait dengan budaya, mata pecaharian, dan cara hidup mereka. Dikatakannya, pemerintah daerah dan masyarakat yang tinggal di daerah lereng dengan tingkat kemiringan 40-45 derajat juga harus lebih mewaspadai dan merespon ramalan dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG). Apalagi, untuk sekitar 23 daerah rawan bencana di musim hujan seperti saat ini. Menhut juga mengharapkan agar kepala-kepala daerah dalam pembangunan di daerahnya tidak sekedar merujuk pada angka-angka ekonomi saja, tetapi juga mengarahkan program pembangunannya pada upaya memperluas kawasa hutan di daearahnya. "Kita berharap luas kawasan hutan di Jawa yang kini baru sekitar 18 persen dari total luas darat dapat ditingkatkan secara bertahap menjadi minimal 30 pesen. Ekosistem di Jawa ini sudah tidak seimbang lagi." Menhut menyatakan sulit untuk membuat kebijakan khusus terkait dengan masalah ini. Penanganan musibah bencana alam harus melalui pendekatan per kasus karena ciri dan kondisi penyebabnya yang berbeda-beda. Menyinggung peyebab bencana Longsor di Banjarnegara, Menhut mengatakan, areal itu sudah tidak kuat menanggung beban, meski ada tanaman Rasamala yang ditanam sejak tahun 1932 di areal yang longsor. "Jenis tanah Regosol yang halus dan berpasir di daerah itu tidak mampu mengikat air dan bahkan ikut larut ketika curah hujan yang tinggi turun. Apalagi, ada sungai yang ikut mengikis tanah di bagian dalam," katanya. (*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006