Pontianak (ANTARA News) - Jujur, satu kata yang mudah dibaca namun sulit dilaksanakan kalau tidak didukung komitmen masing-masing pihak.

Media yang didaulat sebagai pilar keempat demokrasi selain legislatif, yudikatif dan eksekutif, pun terkadang terjebak oleh ruang lingkup jujur tersebut.

Kegalauan itu pula yang tersirat oleh Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Dewan Pers, Agus Sudibyo, saat memberi materi lokakarya "Kode Etik Jurnalistik" yang digelar Lembaga Pers Dr Sutomo di Pontianak, 10 - 12 Mei 2011.

Dewan Pers mencatat sepanjang tahun 2010 ada 512 pengaduan yang masuk.

Sebanyak 48 kasus sudah di mediasi di Dewan Pers, empat kasus dilakukan penilaian secara final ketika mediasi tidak berhasil, dan 92 kasus ditangani dengan surat-menyurat karena jarak yang jauh.

"80 persen dari kasus yang dimediasi Dewan Pers, terbukti ada pelanggaran kode etik jurnalistik oleh media atau jurnalis," kata Agus Sudibyo.

Kode etik jurnalistik sendiri dibuat dengan pertimbangan guna menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar sehingga wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas, serta profesionalisme.

Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang disepakati di Jakarta, 14 Maret 2006, oleh organisasi wartawan dan perusahaan pers Indonesia.

Menurut Agus Sudibyo, kejujuran media menyangkut sejumlah hal, misalnya apakah sumber berita benar-benar ada, berita yang dimuat opini jurnalis atau nara sumber, original atau mengutip dari media lain.

Juga liputan langsung atau hasil rekaan, gambar yang ditampilkan stok baru atau lama, gambar yang ditayangkan milik sendiri atau diambil dari orang lain.

Ia melanjutkan, pertanyaan-pertanyaan itu yang kemudian melatarbelakangi untuk mengetahui kejujuran dari media atau jurnalis.

Ia mengungkapkan, dalam beberapa laporan, ada ketidakjujuran dari media atau jurnalis dalam menghasilkan suatu berita.

Pelanggaran kode etik dalam pemberitaan diantaranya tidak berimbang, berpihak, tanpa verifikasi dan menghakimi, mencampurkan fakta dan opini, data tidak akurat dan keterangan sumber berbeda dengan yang dikutip di berita.

Padahal KEJ mengatur hal-hal tersebut. Di Pasal 1, Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.

Kemudian Pasal 2, Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.

Sedangkan Pasal 3, Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.

Ia juga menganggap saat ini ada kecenderungan media dalam hal pemberitaan, seolah-olah masyarakat tidak mengetahui kode etik jurnalistik dan nilai berita.

Selain itu, menghakimi orang-orang yang terlanjur menjadi "public enemy" atau terlanjur tidak bagus citranya di mata publik.

"Ada kecenderungan pula media membawa-bawa masalah pribadi atau kelompok dalam pemberitaan," kata Agus Sudibyo.

Kecenderungan lainnya, media tidak membedakan antara berita yang bersifat informatif dengan berita yang mengandung penilaian atau menghakimi pihak tertentu.

Kemudian mengecilkan pentingnya konfirmasi, tidak berusaha keras untuk mendapatkan konfirmasi, tidak tuntas dalam verifikasi dan mengabaikan kebenaran prosedural.

Pelanggaran kode etik juga terjadi dalam peliputan. Misalnya jurnalis tidak melakukan wawancara secara langsung, tidak dapat memberikan bukti wawancara, melanggar privasi orang, tidak dapat menunjukkan identitas diri.

Bahkan, ada juga identitas yang diberikan berbeda dengan identitas penulis berita.

Ia juga menemukan beberapa kecenderungan berupa tidak menghargai atau menghina nara sumber, terlalu dekat dengan nara sumber atau mempunyai hubungan khusus, tidak dapat menjaga jarak, liputan ekslusif serta mengalami dilema hak tolak.

Dewan Pers mencatat ada 66 kasus kekerasan terhadap jurnalis atau media berupa fisik, verbal, perusakan peralatan, kantor serta pembunuhan.

"Kekerasan fisik terhadap wartawan, ada yang benar-benar murni menjadi korban kekerasan," kata dia.

Namun ada pula yang dipicu oleh tindakan yang tidak profesional dari si jurnalis itu sendiri seperti mengumpat, melanggar privasi, membenturkan kamera bahkan melakukan pemukulan.

Kejadian lain karena bersikap arogan, semena-mena, serta terburu-buru melapor ke polisi.

Universitas kejahatan
Ketua Komisi Penelitian, Pendataan dan Ratifikasi Dewan Pers, Muhammad Ridlo `Elsy mengatakan, industri media jangan menjadi "universitas kejahatan" yang menyajikan secara lengkap detil kejahatan kepada masyarakat.

Menurut dia, media harus punya sikap, konsisten dan komitmen serta tidak terpengaruh kemungkinan persaingan dengan media lain terhadap kondisi itu.

"Misalnya saja menyajikan secara lengkap dan detil tindakan seorang pelaku kejahatan yang bisa saja menjadi inspirasi bagi pihak lain untuk melakukan hal yang sama, atau bahkan mengantisipasi biar tidak terlacak," kata dia.

Konsistensi itu juga berlaku untuk tindakan lain seperti asusila, serta pelaku tindak pidana di bawah umur.

"Undang-Undang sudah mengatur secara jelas diantaranya UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak lengkap dengan ancaman hukumannya," katanya.

Ketua Forum Bahasa Media Massa, TD Asmadi menambahkan, fungsi media massa adalah memberikan informasi, mengontrol pemerintah dan masyarakat, memberi pendidikan, hiburan serta bagian dari unit kegiatan ekonomi.

Sedangkan dari bahasa jurnalistik, tetap bahasa Indonesia yang komunikatif (baik), berkaidah (benar) dan standar (baku).

"Kata-kata menghina, berprasangka dan konotatif, harus dihindari," kata pensiunan wartawan Harian Kompas itu.

Ia mengutip Paul Johnson, "The Media Truth : Is There a The Moral Duty", 1998; mengenai tujuh dosa besar media. Yakni distorsi informasi, dramatisasi fakta palsu, mengganggu privasi, pembunuhan karakter, eksploitasi seks, meracuni benak pikiran anak-anak dan penyalahgunaan kekuasaan.

Ia mengingatkan, agar tidak menyimpang atau bias, tulisan seorang wartawan harus berdasarkan fakta yang ada, jika berupa opini harus berdasarkan fakta.

"Gunakan kata yang lazim lalu pilih kata dan susun kalimat yang baik dan benar, juga baku," katanya menegaskan.

Industri media di Indonesia pada akhirnya harus memilih untuk berada di jalur yang mana, sekedar memberitakan berita sensasi yang kemudian hilang ditelan waktu, atau menonjolkan kecerdasan dalam pemberitaannya.

Mengutip pernyataan Pius Pope, pengajar di Lembaga Pers Dr Soetomo dan sejumlah universitas di Jakarta, kode perilaku untuk media berupa pedoman dari himpunan peraturan dan perilaku, berlandas pada faktor religi, kebudayaan, etika/moral dan hukum, pada akhirnya merujuk kepada mata nurani.
(T011/A025)

Oleh Teguh Imam Wibowo
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011