Fluvoxamine
Fluvoxamine (WIkimedia Commons)

Sebuah penelitian dalam jurnal Lancet Global Health pada Oktober 2021 memperlihatkan, antidepresan fluvoxamine (Luvox) secara signifikan mengurangi risiko rawat inap pada beberapa pasien COVID-19 dengan risiko serius menjadi parah.

Studi ini melibatkan hampir 1500 orang dewasa di Brasil. Sebagian besar peserta penelitian tidak divaksinasi, memiliki gejala, dan berada pada peningkatan risiko penyakit serius karena masalah kesehatan yang mendasarinya.

Sekitar setengahnya menggunakan plasebo sementara separuh lainnya diminta meminum satu pil fluvoxamine 100 mg sebanyak dua kali sehari selama 10 hari.

Hasilnya, kelompok fluvoxamine secara signifikan lebih kecil kemungkinannya membutuhkan rawat inap di IGD atau rumah sakit dibandingkan kelompok plasebo dengan perbandingan 11 persen dan 16 persen.

Menurut studi, efek samping umum fluvoxamine meliputi sakit kepala, mual, diare, pusing, dan efek samping seksual. Dalam uji coba yang diterbitkan Lancet, puluhan peserta yang diberi fluvoxamine berhenti minum obat karena efek samping dan tidak semua dari mereka meminum obat sesuai resep.

Tetapi dalam kasus ini, kepatuhan pengobatan membuat perbedaan. Mereka yang menggunakan fluvoxamine seperti rekomendasi lebih kecil kemungkinannya meninggal dibandingkan mereka dalam kelompok plasebo.

Fluvoxamine termasuk dalam kelas antidepresan dan disetujui penggunaannya oleh FDA pada tahun 1994 untuk mengobati gangguan obsesif-kompulsif (OCD) dan kecemasan.

Fluvoxamine tampaknya bekerja melawan COVID-19 dengan mengurangi peradangan yang menjadi ciri khas infeksi parah SARS-CoV-2. Obat ini mungkin juga memiliki sifat antivirus.

Walau begitu, penelitian lanjutan masih diperlukan untuk menjawab pertanyaan yang tersisa seperti apakah fluvoxamine akan membantu pasien COVID-19 bergejala yang sudah divaksin, atau mereka yang tidak memiliki faktor risiko penyakit parah?

Selain itu, pertanyaan lainnya yakni apakah orang yang sudah meminum fluvoxamine setiap hari untuk mengobati masalah kesehatan mental juga mendapatkan perlindungan terhadap COVID-19?

Antibodi monoklonal

Tiga perawatan antibodi monoklonal untuk COVID-19 telah mendapatkan otorisasi penggunaan darurat (EUA) dari FDA. Perawatan ini dapat digunakan untuk merawat orang dewasa yang tidak dirawat di rumah sakit dan anak-anak di atas usia 12 tahun dengan gejala ringan hingga sedang dan mereka dengan risiko mengembangkan COVID-19 parah atau dirawat di rumah sakit.

Sasaran perawatan juga termasuk orang di atas usia 65 tahun, orang obesitas, dan mereka yang memiliki kondisi medis kronis tertentu.

Penelitian terbaru menunjukkan, pengobatan antibodi monoklonal juga dapat membantu menyelamatkan nyawa pada subkelompok tertentu pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit.

Antibodi monoklonal adalah versi antibodi buatan manusia yang dibuat secara alami oleh tubuh kita untuk melawan penyerang, seperti virus SARS-CoV-2. Ketiga terapi yang diotorisasi FDA menyerang protein lonjakan virus corona, membuatnya lebih sulit bagi virus untuk menempel dan memasuki sel manusia.

Perawatan antibodi monoklonal yakni menggunakan kombinasi casirivimab dan imdevimab yang disebut REGN-COV dan dibuat Regeneron, lalu kombinasi bamlanivimab dan etesevimab dari Eli Lilly dan sotrovimab dari GlaxoSmithKline.

Perawatan diberikan secara intravena di klinik atau rumah sakit dan saat ini belum diizinkan untuk pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit atau mereka yang menerima terapi oksigen.

Namun, sebuah studi tinjauan pra-peer pada Juni 2021 menunjukkan adanya harapan pengobatan antibodi monoklonal pada pasien COVID-19 di rumah sakit yang tidak meningkatkan respons imun mereka sendiri.

Studi ini membandingkan perawatan antibodi monoklonal Regeneron ditambah perawatan biasa pada orang yang dirawat di rumah sakit dengan COVID-19.

Pada orang yang belum memproduksi antibodi terhadap virus SARS-CoV-2, pengobatan antibodi monoklonal mengurangi kemungkinan kematian sebesar 20 persen.

Antibodi monoklonal tidak akan menguntungkan pada orang dengan sistem kekebalan yang telah menciptakan antibodi sebagai respons terhadap virus.

Baca juga: Antibodi AZD7442 diklaim bisa cegah Omicron

Baca juga: Koktail antibodi AstraZeneca sukses obati COVID-19 dalam uji akhir


Halaman Selanjutnya: Antibodi AZD7442

Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2021