Jakarta (ANTARA News) - Menteri Keuangan (Menkeu) Agus Martowardojo dinilai telah melancarkan tindakan memecah belah dan "menggadaikan" bangsa Indonesia karena berpihak kepada Newmont Mining Corporation dalam divestasi tujuh persen saham PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) dan mengabaikan misi untuk kesejahteraan daerah.

"Agus Martowardojo secara sadar sudah berkelit dari esensi divestasi yakni mengalihkan sepenuhnya kepemilikan saham asing kepada Indonesia. Dengan begitu, dia sudah melancarkan aksi memecah belah di antara rakyat Indonesia demi mengamankan kepentingan perusahaan asing," kata anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Effendi M.S. Simbolon, saat dihubungi ANTARA News, di Jakarta, Minggu.

Ia menegaskan, sikap keras Menkeu Agus Martowardojo agar Pusat Investasi Pemerintah (PIP) membeli sisa saham divestasi PT NNT itu bertujuan melanggengkan penguasaan mayoritas Newmont Holding di perseroan.

"Langkah Menkeu itu sudah jelas demi mengamankan kepentingan Newmont untuk dapat tetap menguasai konsesi tambang PT NNT secara mayoritas minimal 49 persen 'plus' dua persen hingga 2030. Padahal, hal itu jelas melanggar kesepakatan kontrak karya yang dikukuhkan oleh UU di negeri ini," katanya.

Sementara itu Ketua Komisi I DPRD Provinsi NTB, Ali Ahmad, saat dihubungi terpisah menegaskan bahwa apabila Agus Martowardojo tetap tak mau menuruti keinginan rakyat NTB untuk menyerahkan pembelian sisa saham divestasi sebesar 7 persen itu, sama artinya Pemerintah Pusat mengabaikan upaya meningkatkan kesejahteraan daerah.

"Jangan buat masyarakat di daerah terpercik konflik dulu, baru kemudian Pemerintah Pusat mau mendengarkan aspirasi," ujarnya.

Ali menegaskan, penggunaan dana APBN untuk membeli saham divestasi PT NNT itu, praktis keuntungannya diperuntukkan demi kepentingan nasional.

Padahal, NTB selaku daerah penghasil tambang emas masih belum optimal menikmati keuntungannya. Hal itu tercermin dari ketertinggalan Provinsi NTB dalam hal taraf perekonomian dibandingkan provinsi lainnya di Indonesia.

"Lantas, dimana letak keadilan bagi masyarakat daerah penghasil tambang," katanya.

Ia juga menambahkan, persoalan kepemilikan 24 persen saham PT NNT yang kini sudah dikuasai daerah, pengelolaannya terserah kepada daerah, termasuk apakah saham itu sudah tergadaikan atau tidak.

Pendapatnya itu mengomentari tudingan bahwa Pemprov NTB bersama Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sumbawa, serta Pemkab Sumbawa Barat telah kehilangan bagian dividen senilai 30 juta dolar AS.

Hilangnya dividen ketiga pemda yang tergabung dalam konsorsium PT Multi Daerah Bersaing (MDB) bersama perusahaan swasta, Multicapital, karena dipakai untuk membayar utang kepada Credit Suisse Singapura.

"Perkara gadai saham itu adalah hak pemda dalam mengelola kepemilikan saham untuk bisa dinikmati oleh masyarakatnya. Dengan cara apapun, hasil tambang yang dipunyai daerah harus bisa dinikmati oleh masyarakat di daerah. Jadi, Menkeu Agus Martowardojo tidak boleh intervensi terlalu jauh," tegasnya.

Sebelumnya, Newmont diduga telah melanggar kesepakatan divestasi yang tertuang dalam kontrak karya. Raksasa tambang emas asal Amerika Serikat itu ditengarai telah membeli saham sebanyak 2,2 persen yang sebelumnya dimiliki pemegang saham minoritas, PT Pukuafu Indah.

Hal itu tercermin dalam Laporan Tahunan perseroan pada 2010 dalam keterbukaan informasi sesuai ketentuan "US Securities and Exchange Commission" (lembaga pengawas pasar modal AS). Pada halaman 17 laporan tahunan itu disebutkan, Newmont telah mempertahankan "voting interest" pada dua perusahaan Indonesia yang juga menjadi pemegang saham NNT yakni sebesar 2,2 persen.

Dalam keterangan itu dicantumkan, Jusuf Merukh, pemilik PT Pukuafu Indah telah melego 2,2 persen dari total 20 persen saham miliknya di PT NNT kepada PT Indonesia Masbaga Investama.

Perusahaan itu ditengarai sebagai perpanjangan tangan Newmont di Indonesia. Hal itu tentunya bertentangan dengan kesepakatan kontrak karya bersama Pemerintah Indonesia pada 1986 yang mewajibkan Newmont melepas statusnya sebagai pemegang saham mayoritas. Kewajiban divestasi itu juga diperkuat dengan putusan arbitrase internasional pada tahun 2007.

Ketentuan melepaskan saham melalui mekanisme divestasi itu juga tertuang dalam ketentuan oleh pemerintah AS yang mengatur agar perusahaan pertambangan hanya dibolehkan menguasai kontrak karya pertambangan maksimal selama 10 tahun. (E008)

(ANTARA)

Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2011