Jakarta (ANTARA News) - Sekretaris Jenderal International Conference of Islamic Scholar KH Hasyim Muzadi menyarankan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menemui Raja Arab Saudi membicarakan nasib warga negara Indonesia terjerat masalah hukum di negara itu, terutama yang terancam hukuman mati.

"Hanya ada dua cara menyelamatkan Darsem dan yang berderet terancam hukuman mati di belakangnya yakni Presiden Yudhoyono datang sendiri ke Saudi berunding langsung dengan Raja atau membayar seluruh tebusan kepada keluarga," kata Hasyim di Jakarta, Selasa.

Darsem yang dimaksud Hasyim adalah tenaga kerja wanita (TKW) asal Indonesia yang divonis hukuman mati karena membunuh majikannya.

Namun karena ada pihak keluarga korban yang memberi maaf maka Darsem dibebaskan dari hukuman mati dengan syarat membayar denda sebesar dua juta Riyal Arab Saudi atau setara dengan Rp4,7 miliar dalam tempo enam bulan.

Menurut Hasyim, apabila Yudhoyono tidak menyelesaikan deretan WNI yang terancam hukuman mati, akan berdampak kurang baik buat pemerintah karena hal ini lebih tajam dari kasus politik atau ekonomi.

"Orang akan banyak nimbrung dengan kepentingannya masing-masing, dan rakyat tidak berpihak kepada pemerintah," kata mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu.

Pada bagian lain Hasyim menyatakan TKW yang terancam hukuman mati karena melakukan pembunuhan, termasuk Ruyati yang dihukum pancung, Sabtu (18/6) lalu, kebanyakan karena membela kehormatan diri mereka dari perilaku majikannya.

"Saya percaya bahwa perlawanan TKW kita karena membela kehormatan," katanya.

Dikatakannya, sangat sulit mencegah kekerasan majikan di Saudi kepada TKW yang menjadi pembantu rumah tangga. "Karena faktor budaya yang menganggap pembantu sangat rendah dan sudah merasa "dibeli"," katanya.

Selain itu, kata Hasyim, ada kebiasaan majikan laki-laki memperlakukan perempuan pembantu secara tidak senonoh yang mengakibatkan kecemburuan majikan perempuan yang berujung pada kekerasan bahkan penyiksaan.(*)
(T.S024/Z002)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011