Jakarta (ANTARA News) - Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) saat ini menempatkan salah satu fokusnya mewujudkan deklarasi ASEAN Economic Community/AEC (Komunitas Ekonomi ASEAN)  mulai 2015. Lantas, bagaimana kesiapan Indonesia menghadapi hal ini? Apalagi, Indonesia tahun ini menjadi Ketua ASEAN.

Rencana dan program sosialisasi mengenai Komunitas Ekonomi ASEAN telah digaungkan sampai ke daerah, terutama wilayah yang potensial secara ekonomis untuk menggarap  AEC. Pebisnis tentu saja diharapkan berperan penting mewujudkannya bersama tim kerja lintas sektoral dengan pemerintah daerah.

Pebisnis di bidang industri impor/ekspor, transportasi, perbankan swasta yang dimotori Kamar Dagang dan Industri (KAdin) di Pusat maupun Daerah (Kadinda) ditantang tampil lebih profesional sekaligus kompeten.

Secara khusus, mereka juga harus meningkatkan pesionalisme yang kredibel untuk melakukan lobi dan bernegosiasi secara berkesinambungan tanpa mau "cepat beres" (quick fix). Mereka dalam mewujudkan AEC 2015 agaknya sudah tak punya waktu lagi kalau hanya berwacana.  Dengan visi yang terarah, mereka perlu makin sadar diri akan kapasitas yang perlu ditumbuhkan, terutama menyangkut profesionalitas demi ikut merancang AEC menjadi Abad Asia.   

Mewujudkan AEC, dan proses sosialisasinya ke daerah potensial Indonesia bukanlah hal mudah, karena harus ada kejelasan langkah-langkah implementasi untuk pelayanan bagi pelaku bisni minimal dengan semboyan “perbaikan berkesinambungan demi efisiensi dan produktivitas”  

Kesinambungan dalam implementasi strategi harus terwujud di masing masing pemangku kepentingan (stakeholders),  yang bukan basa basi impian indah saja, tetapi memerlukan strategi hingga jangka panjang melalui perencanaan dan program kerja berjaringan (networking).

Secara formal institusional dalam kerjasama antar-ASEAN sejak 1993 di tingkat pemerintahan Indonesia memiliki bentuk dengan mekanismenya kesepakatan Pasar Bebas ASEAN (Asean Free Trade Area/AFTA) yang sudah operasional pada 2003. Di tingkat daerah pun sudah dirintis kesadaran pemahaman tidak hanya di tingkat pemerintahan daerah, tetapi di kalangan pelaku bisnis dengan periodik melakukan analisa lintas batas (cross border analysis).

Sayangnya perkembangan negara anggota ASEAN  dalam kerjasama ekonomi antar-ASEAN melangkah melalui suatu pola yang tersendat-sendat, ibarat sejumlah angsa terbang yang terbang sendiri-sendiri, dan bukannya angsa yang terbang dalam kelompok kebersamaan guna meningkatkan  kesejahteraan rakyat ASEAN.

Lagi pula ada beberapa negara anggota ASEAN membuat FTA (Free Trade Agreement) bilateral dengan negara-negara non-ASEAN, layaknya Jepang, Korea Selatan, China, Amerika Serikat (AS) dan beberapa negara anggota Uni Eropa (UE). Jadi, kekompakkan ASEAN belum semantap sebagaimana diharapkan, apalagi seperti UE yang cukup sukses pula menerapkan pasar dan mata uang tunggal Euro (Ero) di bawah payung Komisi Eropa (EC) dan Dewan Kebijakan Eropa (WEU).


ASEAN Bersama

Kini saatnya dalam memberi wujud AEC, maka ASEAN dalam kebersamaan yang dimotori Indonesia harus menghindari dominasi yang kuat atas yang lebih lemah secara bertahap mulai dari tahun-tahun ini  memiliki minat (keen interest) dalam mendorong pembangunan ekonomi semua anggota yang masih kurang berkembang (weaker member states).

Hal ini menerapkan salah satu prinsip Semangat ASEAN (ASEAN Spirit) bahwa "yang kuat mendukung yang lemah" melalui perdagangan dan investasi, serta  peningkatan mutu infrastruktur mengutamakan manusia, pengetahuan dan fisik.

Memasuki dasa warsa yang akan datang, ASEAN memerlukan gagasan untuk melangkah lebih jelas kearah memberi substansi dalam strategi implementasi sebagai angin segar, dan fokus yang lebih matang bagi negara anggota, dalam arti masyarakatnya.

Bagi Indonesia, maka pelaku ekonomi/pebisnis, terutama yang berskala besar dan menengah, makin perlu membangun suatu operasi bisnis modern, membuat manajemen lebih relevan tanpa rongrongan oknum birokrasi yang tidak bermoral.

Sejak awal 1990-an mulai banyak eksekutif dan manajer di negeri ini yang memiliki kompetensi profesional menurut standar Barat, khususnya AS. Kenyataan ini sebagai hasil pendidikan formal maupun serangkaian lokakarya dengan pendekatan dan nara sumber langsung dari Barat. Mereka memperoleh keterampilan dan teknik pendekatan melalui lokakarya pemecahan masalah (problem solving skills), lokakarya dalam organisasi (in-house workshops) sampai dengan lokakarya luar ruang penuh petualangan (outbound training).

Melalui pendidikan dan pelatihan semacam itu, para ekskutif dan manajer di Indonesia banyak yang makin menjadi profesional menurut model dan gaya Amerika, dengan memahami apa yang dimaksud dengan tujuan manajemen, seperti pencapaian laba, produktivitas dan efisiensi secara operasional, dan memahami apa artinya kepuasan dan loyalitas pelanggan.

Namun, bagi mereka ada faktor tuntutan pembentukan kapasitas (capacity building) manajemen, terutama eselon manajemen menengah, memerlukan hal yang bukan melulu keterampikan sikap pandang yang terlalu terfokus pada visi organisasi model Barat. Isu yang kritikal adalah bahwa norma-norma yang para kritisi bawa dari Barat itu menyebabkan kekakuan dalam berbisnis, apalagi dalam tataran menuju Abad Asia.   

Dengan bergaya manajemen Barat yang dapat dikutip langsung (copy and paste) apa adanya membuat  diri eksekutif dan manajer, baik secara eksplisit maupun implisit, mengalami semacam gegar budaya (shock culture) dan menciptakan "pertentangan batin" dalam berinteraksi dengan masyarakat umum yang tidak pernah mengalami gaya pendidikan model Amerika.  

Banyak pebisnis berhadapan dengan aspek gegar budaya dalam manajemen. Budaya merupakan dasar bagi sistem nilai seseorang, yang pada gilirannya dalam pola perilaku. Setiap aspek kehidupan manusia digerakkan (governed) oleh nuansa kultural (cultural conditioning), khususnya bagaimana kita berpikir dan merasakan.
 
Dalam setiap masyarakat ASEAN, dan khususnya Indonesia, seorang ekskutif dan manajer baik dalam organisasi pemerintahan maupun bisnis (besar, menengah dan kecil) sektor riil (layaknya di bidang pertanian, perdagangan, industri, bank, jasa pariwisata dan transportasi) baik di perkotaan maupun desa, menempatkan siapa pun mereka tetap sebagai manusia dengan tradisi, sistem nilai dan kepercayaan yang tercetak langsung (built-in) dalam lingkungan masyarakatnya sendiri.
 
Modernisasi dulunya merupakan milik dunia Barat/Amerika, tetapi kini melalui keterbukaan yang justru bergeser menjadi miliknya sebagian besar penduduk Asia. Dalam masyarakat ASEAN terdapat pengertian mengakar tentang perilaku berbudaya (civilised conduct) dengan menghargai wajah/muka (face) dan perasaan malu atau sungkan (shame culture) saat membuat kesalahan, termasuk dalam manajemen.  

Ini bedanya dengan apa yang dibawakan oleh Barat atau yang berbudaya kebarat-baratan, karena mereka dikesankan lebih rasional dengan menerapkan rasa bersalah (guilty feeling) dengan sistem "promosikan atau pecat" (hire or fire) ataupun beri penghargaan atau hukuman (reward or punishment) tanpa pertimbangan sensitivitas moral layaknya anggota keluarga dan masyarakat.

Bahkan, ada kalangan eksekutif bisnis maupun pemerintahan yang kini semakin bangga memperlihatkan kesalahan, yang pada gilirannya menjadi dinilai konyol oleh masyarakatnya yang kian cerdas.

Padahal, masyarakat terdidik pun menyadari kemajuan dalam kaidah "Tiga T (3T)", yakni:

1) Teknologi informasi (teknologi komputer dan komunikasi ber-Internet)
2) Teknologi proses produksi
3) Teknologi transportasi.

Tiga hal menyangkut kemajuan teknologi tersebut didukung pendidikan dan pelatihan yang membuka daya pikir dalam berinovasi dan jiwa kewirausahaan secara berkesinambungan yang terus mereka adaptasikan dalam mendayung kemaju mengisi zamannya yang penuh perubahan dan tantangan. Bahkan, sebagian orang menilainya bahwa "zaman kian kejam" bila tidak mengikuti kaidah 3T.

Jiwa kewirausahaan pelaku ekonomi di Indonesia pun makin banyak yang dalam organisasi masing-masing berada di tingkat menengah (middle management) menjadi motivator yang memberi makna dalam etos kerja keras dan cerdas (workhard and smart with ethos) sebagai penerus nilai kultural.  

Para pelaku bisnis, terutama di daerah (luar Jakarta), kini semakin ditempatkan dalam posisi sekaligus sebagai menggali pengetahuan berkaidah 3T secara konseptual maupun operasional bersama para  ahli ataupun akademisi.

Dengan meyakinkan birokrasi pada level operasional sampai ke daerah, maka mereka akan dapat membentuk kesadaran bersama, agar terus berupaya menanggalkan mentalitas pemerintahan yang buruk (bad governance) dengan semakin meningkatkan kepekaan etis tanggung jawab (ethical sensitivity)  dalam  pelayanan publik yang lebih baik, lebih cepat dan lebih murah/efisien. Mereka adalah bagian dari pelaku Abad Asia melalui Komunitas Ekonomi ASEAN yang kian menjelang. (*)

*) Bob Widyahartono (bobwidya@cbn.net.id) adalah pengamat ekonomi/bisnis Asia, Lektor Kepala di Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara (FE-UNTAR) Jakarta.

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2011