manakala demokrasi dinilai telah gagal, ia hanya akan memicu kekuatan “baju hijau” alias militer, turun tangan –yang bermakna juga sebagai kegagalan kita menciptakan dan memperkokoh konsolidasi demokrasi
Jakarta (ANTARA News) - Mungkin gara-gara pulang ke Jakarta, dari Ankara via Istanbul dan Bangkok, dua tokoh menyembul dalam pusat perhatian saya pekan ini. Keduanya tokoh politik, dan karenanya tulisan ini menyangkut suatu peristiwa dan emosi politik.

Kedua tokoh yang saya maksud adalah Recep Tayyip Erdogan, Perdana Menteri Turki, dan Yingluck Shinawatra, Perdana Menteri baru Thailand .

Saya mengamati perkembangan politik pasca-pemilu di Turki dan tentu saja bersentuhan dengan bacaan dan perbincangan tentang Erdogan yang partainya, AK Party tengah memerintah untuk ketiga kalinya sejak 2002.
Tetapi di Bangkok, Thailand, petugas pengantar transit saya di Bandara Svarnabhumi, telah memicu diskusi ringan soal kharisma Thaksin Shinawatra. Ia mengaku pendukung sang politisi, mantan perdana menteri pelarian itu.

“Thaksin itu merakyat, dan kebijakannya membela kami,” katanya, “terlepas dari kontroversi yang menyertainya”. Bahkan ia yakin setelah pemilu, Thaksin akan bisa kembali ke tanah airnya.

Dan ketika partainya Yingluck Shinawatra, adik perempuan Thaksin menang dengan memperoleh dukungan suara yang setara dengan kursi lebih dari lima puluh persen, harapan loyalis Thaksin tentu semakin melambung.

Terlepas dari kekurangan masing-masing, Erdogan dan Shinawatra sedang di puncak kharismanya sekarang. Keduanya adalah ikon politik yang fenomenal.

Kharisma Erdogan, tak sebatas pencitraan, tetapi saya melihat lebih karena faktor kepandaian menjaga harapan publik. Sementara kharisma Shinawatra, sudah sampai pada level “pejah gesang”. Banyak pengikut politiknya yang fanatik. Para pendukung Thaksin dikenal militan –bahkan galak.

Nah, Yingluck Shinawatra, sebagai semacam titisan Thaksin, eksistensinya, sangat ditentukan oleh aura politik pro-Thaksin.

Tapi bagaimana dengan faktor tentara? Bagaimana dengan faktor raja? Penjemput saya di Bandara Svarnabhumi itu dengan yakin mengatakan, bahwa faktor utama yang menentukan politik negerinya adalah saya, rakyat. Ia mengingatkan bahwa Thailand adalah negeri demokrasi.

***
“Coba tanya ke sopir taxi di sini, sebab mereka lebih jujur apa adanya dalam menilai pemimpinnya,” kata seorang kolega di Ankara, Turki. Maksudnya, supaya saya nanya soal bagaimana pandangan umum masyarakat biasa tentang Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan. Ia setengah memberikan jawabannya bahwa hampir semuanya pasti akan mengapresiasi positif.

Mengapa? Kepemimpinan Erdogan dipandang mampu membangkitkan ekonomi dan harga diri orang Turki. Saya sendiri tidak bisa mengeceknya satu per satu pada sopir-sopir taxi yang saya tumpangi, mengingat, tidak selalu saya naik taxi di sana. Tapi, koran Zaman yang pro-pemerintah, memberi kesan bahwa Erdogan memang kharismatik laiknya super-star.

Sebuah kolom di koran itu, memuji-muji tampilan Erdogan sebagai pemimpin yang kharismatik, dengan detil-detil ciri-ciri fisikal yang sempurna: penampilannya, caranya berpidato alias retorikanya, dan tetek bengek lainnya yang menunjukkan bahwa Erdogan punya wibawa dan kharisma.

Di atas semua itu adalah keberanian dan gebrakan-gebrakan politiknya yang dipandang kalangan Sekuleris-Kemalis, kontroversial. Para kolomnis koran itu, sering mengulas tentang pemerintahan AK Party yang mentransformasikan Turki kepada situasi politik Pos-Kemalis.

Tetapi, kritik terhadap gaya dan kebijakan kepemimpinannya juga tak kurang-kurang. Saya menjumpai banyak buku dalam Bahasa Turki yang isinya khusus mengkritiknya. Bahkan ada yang sampulnya, Erdogan berkumis Hitler.

Rata-rata buku itu mengulas bahwa ia pemimpin yang otoriter, tak paham substansi demokrasi, Islamis yang punya agenda tersembunyi, hingga ancaman bagi perdamaian Timur Tengah –karena sikapnya yang “anti-Israel”.

Beberapa tabloid komik, juga biasa mengkarikaturkannya sedemikian rupa –dengan gambar yang lucu-lucu. Bagi musuh-musuh politiknya, Erdogan sering dicap cenderung totalitarian, bahkan ada yang menggamnbarkan seperti Sultan Turki Utsmani pada masa lalu. Cap itu, dikaitkan dengan bagaimana rezim AK Party, memproses hukum kasus Ergenekon dan Balyoz (Sledgehammer) yang dituduh telah melakukan serangkaian upaya untuk menjatuhkan pemerintahan melalui kudeta.

Ekses dari kasus itu adalah, proses hukum kepada semua elemen (apakah tentara yang aktif maupun yang sudah pensiun, wartawan, akademisi dan sebagainya) yang oleh pihak kejaksaan dipandang terlibat, sehingga memunculkan isu kebebasan sipil dan pers.

Politik tak begitu semarak di Turki, kecuali di koran-koran atau debat di televisi-televisi. Begitulah kesan saya, dalam mengamati dinamika politik Turki pasca-Pemilu 2011 yang dimenangkan AK Party dengan hampir 50% perolehan dukungan suara. Sehari-hari, politik tak tampak, kecuali kesibukan masyarakat beraktivitas.

Seorang mahasiswa di Ankara mengaku mencoblos AK Party pada pemilu lalu, walaupun ia kurang begitu suka dengan partai itu. Ketika saya tanya lebih lanjut, mengapa, ia enggan menjelaskan. Tapi, kesan yang saya tangkap, ia ingin pragmatis saja: memilih yang memerintah (incumbent).

***
Kontinuitas dan perubahan adalah hal-hal yang biasa mengemuka dalam penjelasan para pakar politik. Kalau pihak incumbent menang, maka yang dominan adalah kontinuitas alias keseinambungan. Kalau incumbent kalah, maka yang dominan adalah perubahan alias changes.

Politik berlanjut di Turki dan berubah di Thailand. Dua negeri itu sama-sama pernah mengalami kudeta militer berkali-kali itu. Militer sebagai kekuatan politik masih relevan di Thailand, tetapi, kelihatannya sudah tak demikian lagi di Turki.

Pola kudeta militer zaman Thaksin, dipicu oleh alasan pemerintahan yang dipandang korup –bukan pada isu ideologis seperti Turki. Militer Thailand ambilalih pemerintahan, “serestu raja”, dan seperti pola Turki, pemilu dilakukan lagi pasca-kudeta.

Kudeta masih mungkin bisa terjadi lagi di kedua negeri itu, walaupun peluangnya semakin mengecil, terutama di Turki –yang pasca-pemilu ini tengah merancang konstitusi baru standar Eropa.

Kepada saya, seorang pakar dari Institute of Strategic Thinking, di Ankara, memperkirakan di internal militer sendiri yang menghendaki kudeta di Turki tinggal duapuluh persen. Yang delapan puluh persen tidak menghendaki. Bagi saya, persoalannya adalah bukan angka prosentase peluangnya, tetapi kemungkinan untuk kudeta masih ada –walaupun jalan kudeta sudah sangat tidak populer.

Di Thailand, diberitakan Jenderal Prawit Wongsuwon memberikan pernyataan standar saja bahwa dirinya telah berbicara dengan para pemimpin militer, untuk membiarkan para politikus menyelesaikannya persoalan-persoalan mereka, dimana militer tak akan terlibat.

Tapi, bisa saja suatu saat militer “terpaksa” berurusan lagi dalam soal-soal politik yang krusial di sana. Karenanya, reputasi dan prestasi kerja pemerintahan baru pasca-pemilu di Thailand, sangat penting dalam konteks sejarah masa depan politik negeri Gajah Putih itu.

Apakah Yingluck, punya kecakapan sebagai pemimpin politik negerinya? Itulah pertanyaannya. Politik memang bukan monopoli aktivis pergerakan. Latarbelakang Yingluck adalah profesional dan pebisnis.

Tapi kelak ia akan dihadapkan pada permasalahan-permasalahan kebijakan pemerintahan yang, tentu saja, tidak sederhana. Belum lagi, ia juga dihadapkan pada oposisi yang kritis dan jeli –serta fragmentasi politik massa yang potensial mengemuka sebagai konflik terbuka.

Maka ujian Yingluck yang sesungguhnya sebagai seorang “Dewi titisan Thaksin” adalah ujian kepemimpinan –dan tidak semata-mata berlindung di balik kebesaran kharisma kakaknya, Thaksin Shinawatra itu.

***
Di Jakarta, saya menyimak ulasan pakar politik LIPI, Prof. Dr. Ikrar Nusa Bhakti. Mas Ikrar berpandangan bahwa situasi politik kita sangat memprihatinkan sekarang. Bagaimana kita bisa berpikir untuk dapat melangkah seperti China dan yang lain, manakala masih disibukkan oleh urusan “yang begini-begini”.

Maksudnya “yang begini-begini” tak lain, terkait dengan mengemukanya urusan-urusan politik yang kurang bermutu.

Melemahnya partai-partai politik dan anjloknya tingkat kepercayaan terhadap mereka (tak hanya sekedar kepada Partai Demokrat), merupakan fenomena yang memprihatinkan di sini.

Itu maknanya, bahwa ada persoalan yang serius terutama di ranah kepemimpinan elite-elite politiknya. Lagi-lagi, faktor kepemimpinan menjadi muara dari semua soal, termasuk soal-soal yang terkait dengan politik yang tidak bermutu.

Tapi, nah ini yang saya kira penting dari Mas Ikrar, eksperimentasi politik kita tidak boleh gagal, partai-partai politik tidak boleh terus-menerus lemah dan akhirnya dipandang gagal.

Karena, manakala demokrasi dinilai telah gagal, ia hanya akan memicu kekuatan “baju hijau” alias militer, turun tangan –yang bermakna juga sebagai kegagalan kita menciptakan dan memperkokoh konsolidasi demokrasi.

Jadi, penguatan kelembagaan politik partai-partai, sangat mendesak –justru untuk menyehatkan demokrasi kita. Sistem politik yang demokratis harus semakin diperkuat dan efektif.

Memang terasa sekarang ongkos politik demikian mahal. Kita juga merasakan daya rusak yang luar biasa atas praktik politik yang transaksional-pragmatis. Hal-hal yang begitu itu yang harus kita atasi, bukannya dengan menggagalkan demokrasi, dengan memberi peluang pada otoritarianisme. (***)


*) M ALFAN ALFIAN, Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta.

Oleh Alfan Alfian
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2011