masih datang janur dua truk dari Banyuwangi, langsung ludes begitu sampai di pasar ini
Denpasar (ANTARA News) - Pohon kelapa dengan daunnya, rasanya banyak sekali tumbuh di Bali. Tapi ternyata masih kurang saja terutama saat-saat hari suci bagi masyarakat Bali; di antaranya untuk keperluan membuat janur saat Hari Suci Galungan kali ini.

Bayangkan saja, berkapal-kapal janur atau daun muda kelapa didatangkan ke Bali bahkan dari Sulawesi, selain Lombok dan Jawa, agar salah satu unsur penting "upakara" (perlengkapan upacara keagamaan Hindu Dharma) itu bisa dibuat.

"Sulawesi menjadi satu sumber janur ini. Janur dijadikan 'banten' atau sarana sesajen persembahyangan kami," kata Wayan Sutarmi, seorang pedagang janur, di Pasar Badung, Denpasar Selasa.

Umat Hindu di Bali setiap 210 hari menyongsong Hari Suci Galungan yang bermakna memperingati kemenangan Dharma (kebaikan) melawan Adharma (keburukan). Kali ini, Galungan berlangsung Rabu nanti (6/7), yang dalam sistem penanggalan tradisional Bali bertepatan dengan  Wuku Dunggulan.

Hari suci yang mengandung kebangkitan itu dirayakan di seluruh pelosok Bali, memerlukan banyak saranna upacara seperti janur, buah-buahan, daun enau, bambu yang hampir sebagian besar didatangkan dari luar daerah.

"Tadi pagi, masih datang janur dua truk dari Banyuwangi, langsung ludes begitu sampai di pasar ini," kata Sutarmi.

Kenyataan seperti itu bukan baru kali ini terjadi, karena sejak belasan tahun lalu juga ada. Arus barang keperluan upacara keagamaan, mulai dari janur sampai buah-buahan dan hewan persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, deras masuk dari Pelabuhan Gilimanuk.

Dari mana lagi kalau bukan dari Pelabuhan Ketapang, di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.

"Pisang dari berbagai jenis tidak kalah banyak untuk bisa memasok keperluan masyarakat daerah ini menjelang perayaan Galungan. Juga jeruk, apel, kelapa hijau, lain-lain juga dan banyak sekali," katanya.

Taksiran banyak pihak tentang hal itu menyatakan, keperluan masa kini akan unsur-unsur upakara itu meningkat 300 kali lipat ketimbang sembilan tahun lalu. Kalau sudah meningkat tajam, harganya juga ikutan naik tajam juga.

Tidak heran jika harus mendatangkan semuanya dari luar Bali. Bukan lain karena banyak sekali lahan di Bali yang sudah beralih fungsi, semula sawah kini jadi villa dan toko benda seni atau restoran besar; bisa juga jadi bengkel atau ruang pajang mobil.

Dulu merupakan bagian danau, kini sudah jadi hotel tepi danau yang menjadikan pemandangan ke danau sebagai "menu utama".

Harga tanah di Bali memang cukup mencengangkan telinga dan mata, sangat jauh lebih mahal ketimbang harga tanah di Jakarta secara umum.

Bahkan, beberapa hotel dan spa "rela" membayar sejumlah uang kepada petani agar membiarkan sawahnya tetap ditanami padi dengan padi setempat yang rasanya pulen plus enak. Kalau tidak begitu, sawah itu bisa pindah tangan kepada pemodal baru yang menyulap sawah itu jadi.... hotel.
(ANT)







Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2011