Jakarta, 27/1 (ANTARA) - Sejumlah pihak menyambut baik fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai pengharaman rokok dan meminta pemerintah segera mengeluarkan regulasi tentang pengendalian dampak tembakau terhadap kesehatan.

"Alhamdulillah akhirnya keluar. Ini satu langkah ke depan, semoga selanjutnya rokok sepenuhnya diharamkan. Harapannya ini bisa efektif dan pemerintah menindaklanjutinya dengan mengeluarkan regulasi," kata Ketua Umum Wanita Indonesia Tanpa Tembakau (WITT) Diah Anita Prihapsari di Jakarta, Selasa.

Ketua Umum Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) Marius Widjajarta pun mengatakan fatwa itu harus menjadi pendorong bagi pemerintah dan anggota legislatif untuk segera menyelesaikan dan mensahkan rancangan undang-undang tentang pengendalian dampak tembakau bagi kesehatan yang sudah lama dibuat namun belum juga bisa masuk dalam program legislasi nasional untuk dibahas.

Pemerintah, katanya, juga harus mengubah pola pikir lama yang menjadikan cukai rokok sebagai pertimbangan utama dalam membuat kebijakan mengenai pengaturan perdagangan produk tembakau.

"Jangan lagi berfikir bahwa cukai rokok itu segala-galanya. Ini harus diatur dengan jelas supaya produsen rokok tidak menjual produk seenaknya sendiri. Kalau perlu cari alternatif usaha lain bagi petani tembakau," katanya.

Anggota Kaukus Parlemen Untuk Pengendalian Dampak Tembakau DPR RI Hilman Rosyad Syihab mendukung pengeluaran fatwa haram rokok bagi anak-anak, wanita hamil, ulama dan merokok di tempat umum oleh MUI.

Namun dia mengakui, fatwa tersebut hanya akan menjadi fatwa yang sulit diimplementasikan tanpa regulasi yang jelas dan tegas.

"Karenanya perlu aturan pendukung untuk dapat merealisasikan fatwa tersebut. Sama seperti fatwa halal atau haramnya suatu makanan yang didukung dengan aturan tentang labelisasi halal dalam Undang-Undang Pangan misalnya,? jelas Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI itu.

Untuk itu, dia melanjutkan, dalam waktu dekat DPR RI akan membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengendalian Dampak Tembakau.

Dengan RUU tersebut ketentuan tentang rokok diharapkan bisa masuk ke dalam wilayah hukum positif dan tidak lagi hanya sekadar fatwa yang hanya mengikat secara akidah.

"Karena fatwa sifatnya hanya mengikat secara akidah, tetapi tidak ada sanksinya bila dilanggar," ujarnya.

Tentang banyaknya pihak yang menolak fatwa karena dianggap berpotensi menciptakan pengangguran, Hilman berpendapat sebaiknya para ahli ekonomi dan pemangku kepentingan terkait mengkaji dampak pelarangan rokok dan solusinya untuk direkomendasikan kepada pemerintah.

"Mencarikan solusi untuk menghindari dampak ekonomi jauh lebih baik dari pada terus menerus bergantung pada rokok dan membiarkan masyarakat tidak sehat," demikian Hilman Rosyad Shihab.(*)

Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2009