Jakarta, (ANTARA News) - Akibat tidak adanya penanganan serius terhadap praktik deforestasi (penebangan tutupan hutan) yang semakin meluas di Aceh, diperkirakan akhir Tahun 2006 hingga awal 2007, bencana banjir bandang atau bencana alam berskala besar lainnya mengancam seluruh kawasan Provinsi NAD. "Deforestasi kawasan hutan Aceh selama dua tahun terakhir berada pada tingkat yang memprihatinkan. Hampir 60 persen praktik deforestasi terjadi di luar kawasan hutan, sehingga sangat berpotensi mengakibatkan banjir bandang atau bencana alam lainnya pada satu tahun ke depan," kata Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia, Elfian Effendi di Jakarta, Selasa (24/1). Dia mengatakan, total deforestasi hutan Aceh selama tahun 2002-2004 mencapai lebih dari 350 ribu hektare, atau setara dengan lima kali lipat luas daratan Singapura. Deforestasi terjadi di luar kawasan hutan lindung melalui praktik konversi untuk kepentingan pembangunan di luar sektor kehutanan luasnya mencapai 1,87 hektar. Sedangkan deforestasi secara ilegal yang terjadi di kawasan hutan lindung selama terjadi konflik justru semakin meningkat. Jika sebelumnya hanya 97-98 ribu hektare, selama konflik mencapai lebih dari 115 ribu hektare. "Deforestasi hutan lindung yang dilakukan secara ilegal seluas lebih dari 115 ribu hektar tersebut, telah menelan kerugian sebesar sekitar Rp 2,73 triliun per tahun," ujarnya. Menurut dia, praktik deforestasi yang terjadi hampir di seluruh kawasan hutan di Aceh, disebabkan investasi rekontruksi dan proses pemulihan sektor riil yang tidak terkontrol dengan baik, serta tidak adanya perhatian secara serius dari Perhutani serta pihak-pihak terkait lainnya terhadap ekologi hutan Aceh. "Secara tidak langsung, rekontruksi telah mendorong tingkat deforestasi dan degradasi hutan meningkat, karena tidak adanya solusi pemenuhan kebutuhan kayu secara legal dari pihak-pihak berwenang," katanya. Dari total luas wilayah Aceh lebih kurang 5 juta hektare, 62 persen merupakan kawasan hutan, seluas 44 persenya telah mengalami kerusakan parah sehingga menimbulkan perubahan tutupan hutan. Dia mengatakan, untuk mencegah terjadinya bencana alam yang lebih besar dari banjir bandang di Aceh yang terjadi tahun 2000 lalu, maka pemerintah harus memeriksa legalitas sumber kayu pada seluruh penyedia kayu yang beroperasi di Aceh secara independen dan tidak memihak. Selain itu, lanjut dia, Departemen Kehutanan harus menarik kembali peningkatan jatah penebangan tahunan (JPT) untuk Aceh sebesar 5 juta m3 pada tahun 2006, adanya kesepakatan antara Departemen Kehutanan, Pemdaprov dan BRR menyangkut pemenuhan kayu secara legal, dan menerapkan Inpres nomor 4/2005. Namun, yang terpenting menurut Elfian, pemerintah harus memeriksa sejumlah gudang kayu milik LSM-LSM internasional yang terkesan seenaknya memesan kayu dengan alasan untuk kebutuhan rekontruksi pasca bencana tsunami.(*)

Copyright © ANTARA 2006