Pemain Timnas Putri Indonesia Zahra Muzdalifah (ketiga kiri) menggiring bola melewati sejumlah pemain Akademi Persib Putri dalam pertandingan uji coba di Stadion Madya, kompleks Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, Kamis (13/1/2022). Uji coba tersebut dalam rangka persiapan Timnas Putri Indonesia menghadapi Piala Asia Putri 2022 di India pada 20 Januari hingga 6 Februari 2022. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/wsj.

Tetap butuh liga

Yang terjadi belakangan ini malah sukses dalam Piala Asia Putri dan juga turnamen-turnamen lain, selalu ditentukan oleh bagaimana sebuah tim atau atlet ditempa dalam kompetisi yang kontinyu dan profesional, entah liga atau turnamen.

Sebaliknya masa-masa 'sistem instan' dalam membentuk tim sudah lewat. Kalaupun masih ngotot melakukannya, jangan harap bisa menghasilkan hasil positif, sehebat apa pun pelatihnya.

Sebaliknya, akan sangat mahal akibatnya jika pandangan yang mengesampingkan proses masih dipelihara karena tim atau atlet akan selamanya akan ketinggalan dari negara lain yang memiliki sistem kompetisi seperti disebut Rully Nere.

Tapi Indonesia sebenarnya tidak terlalu asing dengan liga sepak bola putri karena pernah memilikinya, bahkan pernah memiliki Invitasi Liga Sepak bola Wanita (Galanita) yang dibentuk pada 1982 namun kemudian terhenti begitu saja.

PSSI memang menghidupkan kembali liga sepak bola wanita ini dengan membentuk Liga 1 Putri pada 2019 yang diikuti sepuluh tim dan dijuarai Persib Putri. Namun kembali terhenti ketika klub-klub sepak bola putri dan juga sekolah sepak bola putri lumayan menjamur di Indonesia.

Padahal bercermin dari Australia, Jepang dan China, memiliki liga sepak bola putri jauh lebih baik ketimbang tidak memilikinya.

Baca juga: Piala Pertiwi-Liga 1 Putri bergulir 2022

Paling tidak menurut teori sains olahraga, kompetisi bisa mendorong hadirnya standar pencapaian lebih tinggi, menciptakan disiplin, meningkatkan dan menjaga tingkat kebugaran, dan membiasakan kerja tim sehingga membangun loyalitas dan kepercayaan diri yang besar yang penting dalam meretas sukses.

Pesepakbola-pesepakbola putri hebat seperti Alex Morgan, Megan Rapinoe, atau Sam Kerr saja, bisa terus mengkilap karena ada kompetisi liga.

Bahkan pesepakbola-pesepakbola terbesar dunia seperti Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo tetap membutuhkan kompetisi agar bisa konsisten berada dalam permainan terbaiknya sehingga memberikan manfaat besar baik kepada klub maupun kepada timnas.

Oleh karena itu, hasil timnas putri Indonesia dalam Piala Asia Putri 2022 semestinya menjadi wake up call atau pengingat agar Indonesia segera menghidupkan kembali liga sepakbola putri.

Bukan saja demi prestasi internasional, namun juga guna mewadahi talenta sepakbola putri di seluruh negeri dan menjawab animo besar masyarakat dalam melihat sepak bola putri yang kuat yang setidaknya menjadi opsi manakala sektor putra belum bisa memberikan yang terbaik di kancah internasional mungkin seperti sepak bola putri China menutup prestasi sektor putranya.

Baca juga: Menanti serunya laga final ideal sepak bola putri PON

Copyright © ANTARA 2022