Senggigi, NTB (ANTARA News) - Sekitar 30.000 desa di Indonesia berada di kawasan hutan, meski ternyata hanya satu persennya yang memiliki hak tenurial atas kawasan hutan yang menjadi kampung halaman mereka sejak ratusan tahun lalu.

Dengan kondisi itu, Indonesia termasuk nomor buncit dalam hal pemberian hak tenurial dibanding negara-negara di kawasan.

Direktur Pelaksana Institut Samdhana, Nonette Royo, di Senggigi, NTB, Rabu, menyatakan, "Indonesia akan tetap tertinggal jauh di belakang kolega-kolega negara tropisnya dalam pengubahan status penguasaan hak tenurial ini. Ini menjadi hal negatif."
    
Royo menjadi satu dari sekian banyak pembicara dalam Konferensi Internasional Tenurial, Pengelolaan, dan Pengusahaan Hutan yang dihadiri ratusan peserta dari manca negara dan badan-badan internasional.
    
Sebagai contoh, katanya, 600.000 hektare hutan yang dikuasai secara adat oleh masyarakat asli setempat telah berkurang jumlahnya pada 2008, menjadi cuma 230.000 hektare saja. Angka ini dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia berdasarkan survei mendalam beberapa saat lalu.

Data terkini pada 2010 menyatakan, pada tahun itu saja cuma kurang dari 100.000 hektare hutan itu yang dinyatakan sah menurut hukum setempat, jauh dibawah target yang ditetapkan, yaitu 500.000 hektare per tahun.

Dikarenakan ketiadaan perubahan mendasar dalam pengelolaan hutan di Tanah Air, maka acap kali terjadi konflik terkait hutan dan masyarakat .

Menurut LSM lingkungan HuMa, dalam laporannya dinyatakan, mengacu pada enam provinsi kajian saja, telah terjadi 359 konfrontasi di kawasan hutan antara 1997 dan 2003.

Mereka menyatakan, telah terjadi peningkatan sebanyak 70 persen tentang hal ini pada area hutan seluas 2,5 juta hektare.

Salah satu pangkal masalahnya adalah penghilangan akses bagi komunitas setempat atas hutan itu. Banyak juga konflik itu berujung pada pembunuhan di antara orang-orang yang terlibat.

"Temuan ini menyatakan secara khusus keperluan aksi segera dengan komitmen keras hingga pada tingkat tertinggi," kata Direktur LSM lingkungan Forest People Programme, Marcus Colchester.

"Kita memerlukan mekanisme mediasi untuk mengatasi konflik ini, capaian yang berarti dalam pengakuan hak-hak adati," katanya.

Atas dasar itulah maka Indonesia yang menjadi negara kelima terluas kawasan hutannya dan penyimpan karbon terbesar di dunia sangat tertinggal ketimbang China, India, dan Viet Nam. Negara terakhir ini menjadi negara nomor satu dalam penguasaan hak tenurial kepada masyarakat asli setempat.

Pengalaman Viet Nam, pengalihan hak itu terjadi karena dorongan banyak hal. "Mulai dari penurunan luasan kawasan hutan, fokus terlalu besar perusahaan perkayuan pada penebangan pohon dan ketidakbecusan mereka mengelola lahan hutan, kekurangan partisipasi penduduk setempat dalam manajemen hutan," katanya.
    
Pengalaman itu dinyatakan ahli dari LSM lingkungan The Center for People and Forests dalam satu sesi pembicaraan di konferensi itu.

"Kami juga mengubah habis-habisan paradigma hukum pada 2003 dan mengakui status penguasaan dan akses atas hutan itu kepada penduduk asli setempat. Dilanjutkan dengan melakukan proyek nasional tentang hal ini pada fase pertama pada 2006-2009 dan fase kedua pada 2011-2012," katanya.

(A037/S026)

Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2011