Jakarta (ANTARA News) - Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta pemerintah tegas terkait penunggak pajak di sektor minyak dan gas (migas) karena sengketa (dispute) kasus perhitungan pajak bukan alasan tidak membayar pajak.

Hal tersebut disampaikan peneliti ICW, Firdaus Ilyas, usai membeberkan 33 perusahan migas yang menunggak pajak di Jakarta, Senin.

Kerja sama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), BP Migas, Direktorat Jenderal Pajak, dan Direktorat Jenderal Anggaran dalam pembahasan pembayaran pajak bermasalah perusahaan-perusahaan asing berkesimpulan bahwa terdapat sengketa kasus perhitungan pajak antara perusahan asing dengan pemerintah.

Menurut Firdaus Ilyas, jika memang terdapat sengketa kasus, maka segera selesaikan, lakukan perubahan pada kontrak pembagian produksi (Production Sharing Contract/PSC). Tapi, setelah bertahun-tahun nyatanya tidak ada niatan melakukan perubahan PSC.

Pajak migas merupakan hal yang berlaku khusus (lex spesialis) dari Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), di mana yang menjadi acuan adalah PSC, dan pajak migas baru berlaku jika sebuah wilayah kerja sudah berproduksi dan komersial.

Berdasarkan PSC yang menjadi kewajiban pajak migas adalah pajak penghasilan badan (PPh Badan) dan pajak deviden, sedangkan pajak lainnya menjadi beban negara, seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), yang dibayarkan dari penerimaan migas negara.

Oleh karena itu, ia mengemukakan bahwa penting bagi pemerintah melalui Ditjen Pajak untuk segera mengirimkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atau menyelesaikan masalah ini ke hukum.

"Permasalahannya penunggakan pajak ini dikatakan ada yang berturut-turut sampai lima tahun tidak selesai juga. Jadi mau seperti apa penyelesaiannya," katanya menambahkan.
(T.V002/Z003)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2011