Jakarta (ANTARA) - “Selamat datang kurikulum baru, semoga para guru, termasuk ente nggak bingung ya Nang” Sebuah pesan singkat, berupa sebuah doa datang di hp saya dengan icon tersenyum, dikirim oleh sahabat lama saya.

Kebetulan ketika pesan itu masuk, saya sedang membaca link yang diberikan oleh pak Ismunandar, Wakil Delegasi Tetap RI untuk UNESCO dalam facebook-nya tentang Reimagining Our Futures Together a New Social Contract for Education, Report From International Commission on the Future Education.

Sejenak saya termenung, betapa cepatnya perubahan-perubahan yang terjadi di dunia saat ini, yang menuntut kita dan dunia pendidikan khususnya untuk cepat dan sigap menanggapi perubahan tersebut. Tidak dapat kita pungkiri bersama bahwa pemerintah sudah banyak berbuat bagi kemajuan pendidikan kita.

Masalah peningkatan kesejahteraan pendidik sebagai ujung tombak pendidikan masih tetap menjadi problem yang serius. Ini bisa dilihat dari proses penetapan guru PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) yang belum terselesaikan dengan baik.

Di sisi lain, penyebaran guru yang tidak merata di seluruh Indonesia, upaya peningkatan kompetensi guru, serta upaya meningkatkan ranking pendidikan kita di PISA (Programme for International Student Assessment), ditambah lagi dengan adanya pandemi, sehingga materi pembelajaran belum bisa dilaksanakan secara tatap muka, tentunya menambah beban pemerintah dan dunia pendidikan kita semakin berat.

Dalam tulisannya Visi Pendidikan UNESCO 2050 (Kompas, 29 Januari 2022), Ismunandar mengatakan bahwa dalam rangka mengatasi tantangan global yang semakin berat dan beraneka ragam, pendidikan sebagai agen sosialisasi dan transformasi masyarakat harus me-reka ulang kontrak sosial baru, yaitu pendidikan yang dapat menyatukan kita pada upaya bersama, serta menghasilkan pengetahuan dan inovasi yang dibutuhkan untuk masa depan yang berkelanjutan, berkeadilan, damai bagi semuanya. Kontrak sosial adalah kesepakatan bersama demi kemaslahatan bersama.

Selanjutnya beliau mengatakan bahwa ada lima hal yang memang harus diperbaharui untuk menciptakan pendidikan yang mengakomodasi kontrak sosial baru ini adalah; Pedagogi yang berdasarkan kolaborasi dan solidaritas. Kedua kurikulum yang berdasarkan ekologis, antarbudaya dan interdisipliner.

Ketiga guru yang lebih profesional. Kempat sekolah yang lebih terbuka, yang dapat mendukung kesejahteraan individu dan masyarakat. Kelima kesempatan pendidikan yang berlangsung sepanjang hayat, seluas dan sedalam ruang budaya dan sosial yang berbeda, termasuk hak akses pada sains, budaya, informasi dan kreativitas.

Pemahaman tentang definisi Pendidikan Nasional tentunya harus dipahami dulu sebagai sesuatu yang utuh, karena definisi tersebut berdasarkan undang-undang yang nantinya akan diturunkan pada kebijakan-kebijakan di bawahnya, termasuk di dalam hal ini kurikulum nasional.

Berdasarkan UU No 20 Tahun 2003 pada Pasal 1 ayat 2 Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.

Untuk mencapai tujuan dari pendidikan nasional, maka disusun lah sebuah kurikulum, yaitu suatu program pendidikan yang berisikan berbagai bahan ajar dan pengalaman belajar yang diprogramkan, direncanakan dan dirancangkan secara sistemik atas dasar norma-norma yang berlaku yang dijadikan pedoman dalam proses pembelajaran bagi tenaga kependidikan dan peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan.(Dakir,2004).

Kurikulum ini bersifat dinamis, berkembang mengikuti perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara serta perubahan-perubahan global, dimana pada akhirnya diharapkan peserta didik dapat berperan aktif dalam berbangsa dan bernegara serta sebagai anggota masyarakat global.

Sejarah pergantian kurikulum di Indonesia sejak Indonesia merdeka, yaitu Kurikulum 1945, 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006, 2013 dan yang akan di berlakukan kurikulum Prototipe 2022 menunjukkan bahwa bangsa kita adalah bangsa yang dinamis, dan perubahan-perubahan kurikulum juga mengidentifikasikan bahwa pendidikan di Indonesia tanggap terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat serta global.

Baca juga: Peneliti: Penerapan Kurikulum Prototipe harus perhatikan kesiapan guru

Baca juga: Opsi kurikulum prototipe diyakini bantu pulihkan "learning loss"


Pro kontra

Terlepas dari pro dan kontra, Kurikulum Prototipe 2022 yang akan diberlakukan pada sekolah-sekolah tertentu (sekolah Penggerak) pada awal tahun ajaran baru 2022-2023, merupakan kurikulum yang mencoba untuk merespon zamannya.

Kurikulum yang mengacu kepada profil pelajar Pancasila, di mana kerangka dasar atau landasan utamanya adalah mengarahkan kompetensi dasar yang harus dikuasai oleh seorang pelajar, karakter yang harus dibangun dan dikembangkan, serta materi pelajaran yang harus dipelajari oleh pelajar sehingga akan melahirkan profil pelajar Pancasila.

Ciri utama dari profil pelajar Pancasila itu adalah; beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkebhinekaan, bergotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif, serta belajar sepanjang hayat.

Dilihat dari perumusan definisi dan tujuan pendidikan serta adanya dinamika kurikulum, kita bisa ambil kesimpulan bahwa pergantian kurikulum bukanlah suatu masalah besar, selama disosialisasikan dengan baik, benar, dan sudah melalui tahapan-tahapan pemikiran secara falsafati, paedagogik, psikologis, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan juga perubahan kebudayaan, serta dapat diimplikasikan dalam pembelajaran.

Permasalahan yang terbesar nantinya adalah bagaimana tujuan pendidikan dan kurikulum tersebut dapat dilaksanakan oleh warga sekolah, sebagai salah satu lembaga pendidikan formal yang meliputi; guru, kepala sekolah, karyawan dan unsur lain yang terkait dengan pendidikan.

Kurikulum Prototipe adalah kurikulum yang awalnya diberikan sebagai opsi tambahan bagi satuan pendidikan untuk melakukan pemulihan pembelajaran sejak 2022-2024, hal tersebut karena banyaknya jam pembelajaran yang hilang (learning loss) yang merupakan dampak dari PANDEMI COVID-19, terutama pada literasi dan numerasi.

Secara bahasa, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online, prototipe adalah nomina yang berarti; model yang mula-mula (model asli) yang menjadi contoh, contoh baku, dan contoh khas (https://kbbi.web.id/prototipe, diunduh tanggal 2 Februari 2022), artinya bahwa Kurikulum Prototipe adalah kurikulum acuan bagi sekolah-sekolah yang sudah siap untuk memulihkan pembelajaran yang hilang..
Kurikulum Prototipe 2022 ini mempunyai karakter dan ciri yang lebih khas dibandingkan kurikulum-kurikulum sebelumnya.

Karakter dari kurikulum ini adalah; yang pertama lebih menekankan pada pengembangan soft skills dan karakter, di mana dengan karakter yang baik maka anak akan berkembang sesuai dengan kodratnya sebagai manusia dan sebagai bangsa Indonesia. Kedua, pembelajaran lebih fokus pada hal-hal yang bersifat esensial yaitu literasi dan numerasi yang merupakan dasar dari semua materi pembelajaran. Ketiga, adanya fleksibilitas guru untuk mengajarkan materi yang disesuaikan dengan kondisi murid.

Dilihat dari karakter Kurikulum Prototipe 2022 ini, maka Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) seperti menemukan mata airnya, di mana sekolah sebagai agen perubahan dan media sosialisasi akan lebih mempunyai wewenang dan kedaulatan dalam menentukan program yang akan dilaksanakan agar visi dan misi sekolah yang diurai dari tujuan pendidikan nasional bisa tercapai.

MBS yang awalnya lahir di Amerika Serikat sebagai bentuk dialogis dan respons dunia pendidikan setelah selesai Perang Dunia, akhirnya mendapatkan tempat di belahan dunia lainnya. Walaupun MBS mempunyai latar belakang yang berbeda-beda di setiap negara, tetapi pada intinya MBS memberikan pelayanan prima kepada stake holder-nya, dengan melaksanakan otonomi manajemen sekolah yang bersifat partisipatif. Ini sesuai dengan UU No.2 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 51 ayat 1 dan penjelasan pasal 51 ayat 1.

Otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah menurut prakarsanya sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah dan sesuai dengan peraturan perundang undangan pendidikan yang berlaku .

Hal ini sesuai dengan Kemendikbudristek menyebut MBS dengan istilah Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), yang diartikan sebagai model manajemen sekolah yang memberikan otonomi yang lebih luas bagi sekolah juga mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan keseluruhan warga sekolah untuk meningkatkan mutu pendidikan, sehingga tujuan pendidikan nasional tercapai.

Melihat rentetan dari mulai Visi Pendidikan UNESCO 2050, definisi dan tujuan pendidikan nasional, Kurikulum Prototipe 2002 serta pelaksanaan MBS yang baik, ternyata mempunyai benang merah yang sangat erat, di mana ada kesesuaian visi UNESCO dengan tujuan pendidikan nasional dan Kurikulum Prototipe 2022.

Tinggal bagaimana warga sekolah mengimplementasikannya dalam kegiatan pembelajaran, di mana sistem MBS memberikan ruang yang sangat luas untuk melaksanakan visi di atas.

Selamat datang visi pendidikan UNESCO 2050. Selamat datang Kurikulum Prototipe 2022 dan selamat bekerja MBS.

Baca juga: FSGI : Jangan ada dualisme kurikulum

Baca juga: Kemendikbudristek tambah 3 wilayah terapkan Prototipe di Bengkulu


​​​​​​
*) Nanang Sumanang adalah Guru Sekolah Indonesia Davao-Filipina

Copyright © ANTARA 2022