Makassar (ANTARA News) - Indonesia menduduki peringkat pertama jumlah demonstrasi terbanyak dilakukan mahasiswa dari 113 Negara dalam kurun waktu 3 tahun terakhir.

Hal itu diungkapkan Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya, Prof Dr Kacung Marijan, saat menjadi pembicara diskusi Pekan Ilmiah Nasional, di Makassar, Kamis.

Hadir Pihak kepolisian, Pemerhati Pendidikan, Akademisi dan Mahasiswa.

Menurut dia, saat ini mahasiswa sulit dikendalikan lantaran doktrinasi yang bersifat merusak dalam tatanan kekerasan, termasuk bagaimana menata kelembagaan mahasiswa ditingkat Perguruan Tinggi telah masuk dalam bagian kelembagaan.

"Penjemputan mahasiswa baru sebagai wadah untuk memberikan hal positif ataukah negatif yang mampu diserap mahasiswa. Hal ini harus dikaji lebih dalam untuk meredam kekerasan mahasiswa," ungkapnya.

Ia mengatakan, kasus di Makassar cukup unik menyalurkan aspirasi dengan cara-cara keras sehingga memicu mahasiswa lain mengikuti irama begitupun daerah lain. Namun, hal itu sebagai bentuk protes mereka terhadap sebuah laju pemerintahan.

"Kebijakan kampus dan pemikiran harus diubah, kita tidak bisa membatasi demo tetapi jangan anarkis, sebab fungsi mahasiswa jelas sebagai sosial kontrol," tambahnya.

Perwakilan Universitas Muslim Indonesia, Muhsin Wahid, menyatakan, kegiatan bersifat positif untuk mahasiswa salah satunya pesantren kilat harus direspon, sehingga ruang konflik dapat ditekan dan komunikasi tetap berjalan.

"Pola pendidikan semestinya dikaji, seperti demo harus lebih dewasa dalam menyampaikan aspirasi, itulah yang harus diubah oleh mahasiswa," katanya.

Pembantu Rektor III Universitas Veteran Republik Indonesia, Adil Amin Safri, mengatakan, ada tiga sistematik yang kerap di berdayakan mahasiswa seperti, Etnis, Elite dan Egosentris yang dianggap mahasiswa sebagai bahan heroik ketika berdemo.

"Makassar sebagai bagian terkecil dari sekelumit masalah demonstrasi. Seperti masalah etnis yang selalu dibawa-bawa dalam nuansa kampus, kemudian didompleng dengan elit kepentingan politik serta egosentris sebagai bentuk herois dimiliki individunya.

Solusinya ada pada regulasi kebijakan pendidikan dan partisipasi masyarakat termasuk tokoh agama," ungkap mantan aktivis ini.(*)
(ANT-282/S016)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011