Jakarta (ANTARA News) - Melalui UU Lingkungan Hidup No 4/1982, Amdal sebagai salah satu instrumen pengelolaan lingkungan, untuk kali pertama diintroduksi di Indonesia. Kupasan lebih rinci tentang Amdal dikemukakan dalam PP No 29/1986.  

Masa ini lebih berupa inisiasi dan introduksi Amdal, sehingga penerapannya pun masih sporadis. Pendekatannya sektoral dengan adanya 16 komisi amdal pusat yang bernaung di bawah kementerian sektor.  
    
Lalu via PP No 51/1993, diperkenalkan Amdal terpadu, kawasan, dan regional. Kewajiban menyusun UKL-UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan) bagi kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan juga mulai diatur.  

Selanjutnya pada era PP No 27/1999, Amdal mengalami desentralisasi melalui pembentukan sekitar 119 komisi amdal kabupaten/kota. Sentralisasi berupa hanya ada satu komisi amdal pusat di bawah koordinasi KLH.  

Keterlibatan masyarakat dan keterbukaan informasi lebih diketengahkan (Keputusan Bapedal No 8/2000).  Pada UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan lingkungan, sanksi tentang Amdal makin dipertegas lagi.

Hal buruk konsultan Amdal
Dulu sebelum adanya kewajiban registrasi konsultan lingkungan, konsultan apa saja yang core competence-nya bukan lingkungan, pun boleh melakukan kajian Amdal.  

Makanya menjamurlah konsultan serba bisa berlabel PT Palugada (aPa yang Lu minta Gua aDa), yang tenaga ahlinya sebagian besar outsourcing atau malah pinjam nama belaka !  Terjadi kajian analogi yang sembrono dengan copy-paste tanpa telaahan lebih intensif.

Hal buruk Amdal di mata industriawan
Amdal belum dipahami merata oleh kalangan industriawan.  Amdal dianggap sebagai syarat administrasi belaka. Akibatnya penyusunan dokumen Amdal sepenuhnya diserahkan ke konsultan.

Pemrakarsa minta Amdal dan persetujuannya terima beres, tanpa urgensi mendiskusikan isi dokumen dengan seksama. Mereka kadangkala tak mengerti esensi bahwa dokumen Amdal atau UKL-UPL harus diimplementasikan.  Jika tidak, maka ia tak ubahnya seperti onggokan kertas, nihil makna.

Hal buruk tentang Komisi Amdal
Otoritas tertinggi pengelolaan lingkungan di daerah terkadang tak kompeten dan tak kapabel, karena penunjukannya bukan berlandaskan karir, tapi politis, konsekuensi dari otonomi daerah.  Pengesahan Amdal dilengkapi dengan penyetoran sejumlah dana sebagai bagian dari retribusi yang masuk dalam PAD.

Presentasi dan pengesahan dokumen Amdal pada daerah tertentu dihargai membumbung. Otoritas pengelola lingkungan terkadang tanpa sungkan meminta semacam “upeti lingkungan” kepada pelaku industri.

Pada kasus ini, bukan lagi substansi dari isi dokumen yang menjadi fokus pembahasan, tapi lebih kepada negosiasi aspek non teknis, yang bermuara pada Amdal negosiasi.   

Rapat komisi Amdal di daerah terkadang seperti peradilan kriminal yang menyudutkan tim penyusun. Segelintir pejabat yang diundang ke Jakarta untuk hadiri presentasi, meminta fasilitas istimewa, jauh melebihi pagu perjalanan dinas  PNS.

Menilik keburukan pelaksanaan Amdal, lalu dimana sisi optimistiknya ?  Mekanisme pembahasan dokumen Amdal yang dilakukan oleh KLH kiranya patut dijadikan acuan, karena tidak berpanjang-lebar, fokus, nihil biaya non teknis, akomodatif terhadap masukan, memposisikan personel dan konsultan penyusun Amdal sebagai mitra, dsb.

Pembenahan Amdal
Dokumen Amdal terdiri dari: Kerangka Acuan (KA), Andal, RKL, RPL, dan RE (Ringkasan Eksekutif).  Pembahasan KA, yang analog dengan proposal, cenderung bertele-tele.  Padahal inti KA adalah 1) Menentukan dampak penting hipotetik, 2) Menentukan batas wilayah studi, dan 3) Menentukan metode prakiraan dampak.  

Sepertinya pembahasan KA tak perlu secara massal dengan pelibatan banyak stakeholder, cukup tim teknis saja.  Pelibatan semua stakeholder akan dilakukan manakala pembahasan Andal, RKL, RPL.

Dalam rangka penguatan peran Amdal dan membenahi beberapa keburukan tersebut, KLH mencanangkan program Revitalisasi Amdal yang telah berlangsung sejak beberapa tahun silam.

Beberapa langkah yang ditempuh mencakup standarisasi dokumen Amdal agar reproducibility dan reliability dapat terukur (PerMenLH No 8/2006 dan Panduan Pelingkupan, 2007). Sertifikasi personel penyusun Amdal (PerMenLH No 11/2008).  

Registrasi konsultan penyusun Amdal (PerMenLH No 7/2010).  Lisensi komisi Amdal daerah (PerMenLH No 15/2010). Akreditasi laboratorium penganalisis parameter lingkungan (PerMenLH No 6/2009).

Upaya revitalisasi ini tidak akan menuai hasil cemerlang, jika stakeholder Amdal seperti pemrakarsa, personel dan konsultan penyusun, masyarakat, serta pemerintah pemegang otoritas lingkungan, tidak dengan bahu-membahu berupaya membenahi mekanisme perAmdalan ini.  

Rakernas Amdal 13-14 Juli 2011 silam di Bali mengusung tema ”Awal Pencapaian Mutu Amdal”.  Moga even ini benar-benar menjadi tonggak awal bagi upaya kontinyu perbaikan kualitas Amdal.

Forum Amdal Indonesia (FAI)
Geliat keseriusan Amdal makin menyeruak.  Terlihat dari giat dan dengan sukarelanya pelaku industri, universitas, konsultan lingkungan, dan KLH bertatap muka secara rutin pada suatu pertemuan baku-tukar diskusi yang diwadahi dalam FAI yang sudah berlangsung hingga 12 kali.

Pembahasan hal ikhwal Amdal pada FAI, termasuk masukan Rancangan Peraturan Pemerintah pengganti PP No 27/1999 dan izin lingkungan, tanpa ada sekat pembatas imajiner berupa keraguan dan keengganan untuk mengumandangkan aspirasinya secara terbuka.

Ini pertanda semakin bertumbuh-kembangnya awareness stakekolder tentang urgensi pengelolaan lingkungan, semoga.
(***)

*)  Pengarang Buku “Senarai Bijak Terhadap Alam”

    

Oleh Hefni Effendi
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2011