Jakarta (ANTARA) - Pengamat sektor kelautan Abdul Halim meminta ada penataan terhadap berbagai lembaga penyelenggara rekrutmen anak buah kapal (ABK) untuk posisi bekerja baik di kapal ikan domestik maupun di kapal ikan asing.

"Yang perlu dilakukan pertama adalah menata lembaga-lembaga penyelenggara rekrutmen tenaga kerja di sektor perikanan, khususnya mereka yang bekerja sebagai ABK," katanya ketika dihubungi ANTARA di Jakarta, Senin.

Menurut Abdul, yang juga Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, rekrutmen kepada ABK di kapal perikanan biasa dilakukan antara lain secara perorangan dengan menawarkan atau memberi iming-iming adanya peluang kerja secara langsung kepada orang terdekat atau tetangga.

Namun, lanjutnya, skema rekrutmen tersebut dinilai sering kali mengabaikan pentingnya kontrak kerja secara tertulis yang menghormati hak dan kewajiban antara kedua belah pihak.

"Dalam konteks ini, penyebabnya adalah adanya ketergantungan ABK terhadap pemilik kapal karena kebutuhan dasarnya sewaktu-waktu bisa dipenuhi melalui mekanisme hutang dan bisa dibayarkan setelah pulang melaut," katanya.

Sedangkan skema rekrutmen lainnya, masih menurut dia, adalah dilakukan industri penangkapan ikan baik di dalam negeri maupun di mancanegara yang memasang iklan hingga ke perkampungan nelayan atau perkampungan umum baik yang berada di wilayah pesisir maupun nonpesisir.

Dari iklan yang mereka pasang itulah juga memberikan iming-iming keuntungan yang baik bila bekerja sebagai ABK, tetapi berpotensi adanya info yang tidak dibuka secara langsung atau ditutup-tutupi karena yang dipentingkan oleh rekruter adalah lebih kepada terpenuhinya target untuk merekrut tenaga kerja.

"Hal ini berakibat kepada munculnya kasus seperti perbudakan di atas kapal seperti yang masih kita temukan pada saat ini, maupun penyelundupan manusia yang dipekerjakan secara ilegal di negara lain," kata Abdul.

Untuk itu, ujar dia, selain menata lembaga-lembaga penyelenggara rekrutmen tenaga kerja di sektor perikanan, perlu juga ditingkatkan pengawasan secara reguler terhadap mekanisme rekrutmen, serta adanya pemberian sanksi yang tegas serta memberikan efek jera kepada lembaga rekrutmen ABK apabila ditemui pelanggaran terhadap prosedur rekrutmen yang mencederai hak-hak tenaga kerja.

Abdul juga mengimbau pemerintah baik di tingkat daerah maupun pusat untuk kerap melakukan tenaga kerja baik di sektor perikanan tangkap maupun pascaperikanan tangkap (pengolahan) sehingga keterampilan semakin bertambah sehingga mereka akan mendapatkan pekerjaan yang layak tanpa harus terjerembab ke risiko yang negatif seperti terjerumus ke dalam perbudakan modern atau penyelundupan manusia.

"Di sinilah pentingnya kolaborasi antara pemerintah, asosiasi, dan lembaga pendidikan, seperti SMK Perikanan untuk menghasilkan pengusaha dan tenaga kerja perikanan yang handal," ucapnya.

Sebelumnya, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan mengatakan dalam kurun waktu dua tahun terakhir ini, DFW Indonesia telah menerima 69 pengaduan awak kapal perikanan. "Sebanyak 40,57 persen pengaduan dilaporkan oleh awak kapal dalam negeri, dan 55,07 persen berasal dari mereka yang bekerja di kapal ikan luar negeri," katanya.

Adapun profil kasus yang sering kali diadukan oleh para awak kapal perikanan tersebut meliputi masalah asuransi dan jaminan sosial, gaji yang tidak dibayarkan atau pemotongan gaji, penipuan, dan kekerasan.

Ia mengungkapkan rata-rata pengaduan yang disampaikan terkait dengan pelanggaran ketenagakerjaan yang mengarah pada praktik kerja paksa. Selain itu, dalam kurun waktu 2020-2021, pihaknya menerima 69 pengaduan dengan total korban sebanyak 169 orang.

Baca juga: KNTI: Data kapal perikanan penting bagi perlindungan nelayan-ABK WNI
Baca juga: DFW: Pengaduan ABK WNI lebih banyak datang dari kapal ikan asing
Baca juga: KKP minta pengusaha kapal perikanan lindungi ABK melalui BPJAMSOSTEK

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2022