Jakarta (ANTARA) - Pandemi COVID-19 masih mendera Indonesia termasuk di Ibu Kota dan hingga kini menempati peringkat teratas yakni 14.353 kasus baru per 9 Februari 2022.

Disinyalir tingginya kasus baru COVID-19 dipicu varian baru Omicron yang memiliki daya tular lebih tinggi.

Pemerintah pada akhirnya meningkatkan level Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) untuk Ibu Kota menjadi level tiga dari sebelumnya level dua.

Sejauh ini kebijakan PPKM masih menjadi senjata andalan dari pemerintah untuk menekan angka penularan.

Kebijakan PPKM dianggap mumpuni untuk membatasi pergerakan masyarakat dan membuat masyarakat patuh terhadap protokol kesehatan.

Namun, agaknya ada hal yang berbeda dengan penerapan PPKM kali ini.

Pemerintah berupaya agar ekonomi di tengah masyarakat tetap berdenyut.

Oleh karena itu, pemerintah tetap memberikan keleluasaan bagi pelaku usaha untuk tetap dapat beraktivitas di tengah berbagai pembatasan.

Kebijakan PPKM kali ini masih memberikan kesempatan berbagai sektor ekonomi untuk menjalankan kegiatannya.

Apalagi, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan regulasi telah menciptakan iklim untuk tumbuh kembang keuangan digital.

Baca juga: BI: Nilai transaksi digital banking naik 45,64 persen pada 2021

Di tengah pandemi seperti saat ini, penggunaan uang digital tentunya sangat membantu.

Asumsinya, dengan mengurangi penggunaan uang fisik tentunya akan semakin memperkecil penularan COVID-19.

Teknologi keuangan digital saat ini sudah demikian maju.

Karenanya, inovasi teknologi dan peningkatan pengetahuan keuangan (literasi) digital mutlak dibutuhkan apabila Indonesia ingin segera pulih dari dampak pandemi.

Inovasi
Kajian inovasi teknologi keuangan ini juga dibahas dengan menarik saat ada diskusi virtul bertema 
"Seizing the Opportunity: Transforming Indonesia’s Economy Amidst The Crisis" belum lama ini.

Pembicara menyampaikan berbagai inovasi di bidang teknologi keuangan yang mampu membantu ekonomi Indonesia terus bergerak meski di tengah pembatasan akibat pandemi COVID-19.

Seperti disampaikan Kepala Departemen Riset Sektor Jasa Keuangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Inka B Yusgiantoro yang mengungkapkan manfaat yang dapat ditimba pelaku usaha melalui keuangan digital.

Kemajuan teknologi keuangan digital itu paling dirasakan pelaku UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah).

Bahkan menurut dia, ke depan bisa mengubah permainan bagi UMKM maupun masyarakat yang selama ini belum tersentuh perbankan menjadi lebih mudah mencari dukungan pendanaan.

Saat ini, di pasar sudah banyak tersedia berbagai sumber pendanaan baik itu melalui dompet elektronik, teknologi keuangan, maupun layanan daring perbankan.

Baca juga: Kominfo kembangkan identitas digital untuk transaksi elektronik aman

Semua instrumen itu dapat membuka akses bagi UMKM dan masyarakat ke lembaga keuangan formal.

Pandemi telah mengakselerasi keuangan digital baik dari sisi penjual maupun sisi konsumen di berbagai sektor terutama perdagangan.

Hadirnya QRIS (Quick Response Standar Indonesia) salah satunya yang sangat membantu dalam keuangan digital, merchants (pedagang) hanya perlu menampilkan kode QR dan konsumen sudah dapat melakukan pembayaran secara digital melalui penyedia jasa pembayaran yang mereka inginkan.

Inka B Yusgiantoro mengatakan QRIS telah banyak dimanfaatkan pelaku usaha terutama dari kalangan UMKM.

Angkanya naik cukup signifikan pada 2020 terdata sekitar 2,6 juta, lalu pada 2021 meningkat di atas 7,5 juta.
Pelanggan membayar pesanannya melalui kode Quick Response Indonesia Standard (QRIS) di salah satu kedai kopi, Rangkasbitung, Lebak, Banten, Sabtu (14/8/2021). Bank Indonesia (BI) menargetkan 60 juta usaha mikro kecil menengah (UMKM) terhubung dengan platform keuangan digital dalam tiga tahun melalui Quick Response Indonesia Standard (QRIS) dan digital banking. ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas/rwa.


Bahkan beberapa sudut pedagang makanan kaki lima saat ini sudah banyak menerapkan QRIS untuk bertransaksi.

Cukup berbekal ponsel maka transaksi berlangsung aman antara pembeli dan penjual.

Transformasi digital tentunya akan sukses jika terdapat kolaborasi dari berbagai pemangku kepentingan khususnya dari pemerintah, kementerian, lembaga dan industri.

Dengan demikian bauran dari berbagai pihak ini diharapkan bisa melakukan sinergi dengan baik untuk mewujudkan keuangan digital di Indonesia.

Regulasi
Regulasi terhadap keuangan digital juga dinilai sudah memadai untuk menumbuhkan sektor ekonomi di tengah pandemi.

Baca juga: Momentum pandemi dan masa depan QRIS

OJK bahkan telah menerbitkan berbagai peraturan terkait bank umum dan klasifikasi untuk bank digital.

Setidaknya pada 2021 sudah ada empat peraturan yakni 12, 13 dan 14 untuk mendorong bank digital bisa menjalankan kegiatan usahanya melalui saluran elektronik tanpa kantor fisik selain kantor pusat.

Pembayaran tanpa bersentuhan langsung merupakan kunci transaksi digital masa depan, menuju ke dunia yang semakin mengurangi transaksi tunai.

Bahkan, di beberapa negara, transaksi tunai sudah ditinggalkan, namun di beberapa negara termasuk Indonesia pergerakan non tunai dianggap masih tergolong lambat.

Penggunaan transaksi non tunai di Indonesia masih didominasi dari kalangan muda seperti generasi Y dan Z.

Penggunaan teknologi selular (mobile technology) dan internet yang semakin meluas membuat transaksi non tunai ikut berkembang.

Bahkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga menyarankan transaksi non tunai pada masa pandemi untuk meminimalkan risiko angka penularan akibat COVID-19.

Pemerintah melalui G2P (Government to Person) juga menggunakan pembayaran digital untuk menjangkau masyarakat secara cepat dan efisien.

Sebagai contoh program Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) bisa menggunakan platform pembayaran digital dan juga kartu Prakerja juga melalui dompet digital.

Pada 2021 dengan populasi di Indonesia hampir 275 juta jiwa yang mayoritas populasi adalah generasi milenial dan generasi Z, tentunya menjadi penggerak transaksi digital saat ini.

Baca juga: Peningkatan transaksi digital dinilai buka peluang investasi

Hal ini, bisa dilihat juga pengguna teknologi digital berbasis ponsel pintar, tentunya sudah cukup tinggi di Indonesia, namun yang belum tersentuh perbankan juga cukup tinggi yaitu 31 persen.

Ke depan masih ada kesempatan untuk meningkatkan iklim keuangan digital di Indonesia.

Data memperlihatkan dari sisi pembayaran digital sudah sangat besar, nilai pembayaran mencapai 35,72 miliar dolar AS, angka pembayaran konsumen secara digital tumbuh 27.6 persen, inklusi (ketercakupan) keuangan masih ada 48,9 persen pada 2019, lantas sudah memiliki akun di lembaga jasa keuangan atau sebaliknya 51persen.
 
Pembeli melakukan pembayaran secara digital di toko cendera mata Christine Klappertaart, Manado, Sulawesi Utara, Sabtu (28/8/2021). ANTARA FOTO/Adwit B Pramono/wsj. 

Lantas penting juga agar keuangan digital ini diimbangi dengan literasi yang baik di masyarakat untuk memitigasi risiko dan melindungi konsumen.

Survei nasional literasi dan inklusi keuangan OJK menunjukkan masih tingginya kesenjangan (gap) antara inklusi dan literasi keuangan, sehingga menjadi salah satu indikasi masih tingginya permasalahan-permasalahan konsumen di sektor jasa keuangan saat ini.

Dengan demikian pekerjaan rumah untuk mewujudkan inklusi dan literasi keuangan digital memang belum tuntas.

Harapannya pandemi COVID-19 yang mengharuskan transaksi tanpa tunai menjadi momentum untuk mengembangkan keuangan digital di Indonesia.

Faktanya kini, hampir semua sendi ekonomi saat ini telah menggunakan transaksi digital terutama di sektor transportasi.

Namun, untuk sektor perdagangan dan jasa, pemanfaatan keuangan digital sepertinya harus disosialisasikan lebih gencar lagi.

Penulis merasakan sendiri masih menemukan klinik kesehatan yang masih menggunakan transaksi tunai padahal untuk pendaftaran dan aspek administrasi lainnya sudah digital.

Seharusnya di tengah pandemi, sektor penyedia jasa kesehatan menjadi ujung tombak untuk menyosialisasikan transaksi non tunai (digital).

Copyright © ANTARA 2022