Yogyakarta (ANTARA News) - Malam 1 Suro atau 1 Muharam 1427 Hijriyah bagi sebagian masyarakat Jawa merupakan momentum untuk perenungan diri atau refleksi terhadap hidup dan kehidupannya, dengan melakukan tirakat atau "lelaku". "Melalui perenungan diri dengan tirakat atau lelaku, masyarakat dapat melakukan evaluasi dan introspeksi diri, serta sadar bahwa manusia ada yang menghidupkan, yakni Tuhan," kata sejarawan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Drs Purwanto MHum di Yogyakarta, Senin. Menurut dia, melalui tirakat atau lelaku, masyarakat dapat melakukan evaluasi terhadap segala perilaku atau perbuatan di tahun lalu untuk introspeksi dan mawas diri di tahun baru, serta meningkatkan keimanan serta ketakwaan kepada Tuhan. "Dengan demikian, perilaku atau perbuatan yang dinilai negatif di masa lalu berusaha ditinggalkan, sedangkan perilaku atau perbuatan yang positif akan dipertahankan bahkan ditingkatkan, serta lebih mendekatkan diri pada Sang Pencipta dengan meningkatkan amal ibadah," ujarnya. Ia menyebutkan tirakat atau lelaku yang biasa dilakukan sebagian masyakarat Jawa pada malam 1 Suro khususnya di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), di antaranya dengan "mubeng" (mengitari) beteng Kraton Kasultanan Yogyakarta tanpa berbicara (topo bisu), dan "kungkum" (berendam) di sungai. "Tirakat atau lelaku yang dilakukan sebagian masyarakat Jawa pada malam 1 Suro itu hanya salah satu sarana untuk memahami hidup dan kehidupan, sehingga semakin yakin bahwa hidup dan kehidupan sudah ada yang mengatur, yakni Tuhan," kata dia. Dengan demikian, menurut Purwanto, manusia akan "narimo" (menerima dengan ikhlas) hidup dan kehidupannya. Dalam arti, tidak iri dengan keberhasilan orang lain, tidak ingin memiliki sesuatu yang menjadi hak orang lain, dan tidak serakah, tetapi tetap berusaha untuk memperoleh hidup dan kehidupan yang baik. "Jika semua orang bisa `narimo` dalam hidup dan kehidupannya, saya yakin bangsa ini akan aman, tenteram, dan terbebas dari korupsi," tandasnya.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006