Banda Aceh (ANTARA News) - Budaya berpantun yang tumbuh dan berkembang di masyarakat Aceh tempo dulu perlu diselamatkan, agar tidak hilang tergilas zaman, kata Ketua Yayasan Lontar, Adila Suwarno. "Budaya berpantun yang telah lama berkembang dan hidup di tengah-tengah masyarakat Aceh dan merupakan salah satu kekayaan budaya nasional itu perlu dilestarikan kembali, sehingga tidak hilang tergilas arus zaman," katanya saat penyerahan buku pantun berbahasa Aceh kepada anak-anak pengungsi korban tsunami di Lhoknga, Aceh Besar, Rabu. Ia menjelaskan, buku pantun berbahasa Aceh dan Indonesia itu merupakan salah satu karya terbaik yang dikumpulkan dari seorang penyair Serambi Mekkah, yakni Abdullah Arif. "Bait demi bait pantun Aceh karangan almarhum Pak Arif itu telah mendapat hati di kalangan masyarakat Aceh sejak 1950-an," ujarnya. Oleh karena itu, pihaknya bekerjasama dengan Yayasan Pendidikan Matsushita Gobel dan dukungan badan dunia bidang pendidikan dan anak-anak menerbitkan sekaligus menyalurkan sebanyak 5.000 buku pantun berbahasa Aceh dan Indonesia. "Buku pantun karangan Pak Abdullah Arif itu kami serahkan kepada anak-anak pengungsi korban tsunami, dan akan menjadi bahan bacaan bagi pelajar di daerah ini sebagai wujud kepedulian untuk melestarikan budaya bangsa," tambahnya. Buku pantun itu bertemakan permainan anak-anak, senda gurau, teka-teki, nasehat mengasuh dan mendidik anak. Sumber inspirasi digali dalam kehidupan seharian masyarakat Aceh terutama di kampung (desa). "Kami sangat menghargai dukungan mitra kami dalam mengisi keseharian anak-anak Aceh dengah hal-hal yang bermakna," kata Kepala Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pendidikan dan Anak-anak Dunia (UNICEF) di Banda Aceh, Edouard Beigbeder. Ia mengatakan, kondisi psikis anak-anak akan banyak terbantu dengan adanya waktu untuk bermain dan mengekspresikan jiwanya. Beigbeder juga menjelaskan bahwa UNICEF bersama mitra kerja dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan (KPP), Dinas Sosial, Pusaka Indonesia dan Muhammadiyah, telah mengelola 21 children center (pusat kegiatan anak) di sejumlah kabupaten/kota di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pasca-tsunami 26 Desember 2004. "Kegiatan yang telah kami lakukan antara lain penelusuran keluarga bagi anak-anak yang terpisah dari orang tuanya saat tsunami. Program kami juga memberikan dukungan kesejahteraan bagi anak-anak yatim," ujarnya. UNICEF selama ini juga mengembangkan program perlindungan anak dan eksploitasi, penganiayaan dan human trafficking (perdagangan manusia), dan program psikososial, yakni menyediakan tempat, training dan alat agar anak-anak dapat bermain setelah tsunami, demikian Beigbeder. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006