Kami mendesain Taksonomi Hijau ke dalam ke skala lima yaitu kira-kira apa kriteria atau apa sertifikasi yang dibutuhkan agar suatu sektor atau subsektor itu bisa menjadi green sector
Jakarta (ANTARA) - Deputi Komisioner Stabilitas Sistem Keuangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Agus Edy Siregar menyatakan Taksonomi Hijau Indonesia mendorong penguatan pengembangan instrumen hijau dan berkelanjutan.

“Kami bersama dengan bantuan dari delapan kementerian telah menyelesaikan Indonesia Green Taxonomy edisi 1.0 untuk mendukung pengembangan instrumen hijau,” katanya dalam Agenda Presidensi G20 Indonesia di Jakarta, Jumat.

Berdasarkan data OJK, Taksonomi Hijau Indonesia merupakan sebuah panduan aktivitas ekonomi hijau yang berisikan daftar klasifikasi aktivitas ekonomi yang mendukung upaya perlindungan lingkungan hidup serta mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Taksonomi Hijau Indonesia ini juga digunakan sebagai acuan bagi penyusunan pemberian insentif dan disinsentif dari berbagai kementerian dan lembaga.

Taksonomi Hijau dapat memberikan pemahaman lebih baik dan memudahkan pelaku sektor jasa keuangan mengklasifikasi aktivitas hijau dalam mengembangkan portofolio produk dan/atau jasa keuangan.

Taksonomi Hijau dapat membantu proses pemantauan berkala dalam implementasi penyaluran kredit, pembiayaan dan investasi ke sektor hijau serta mencegah potensi pelaporan aktivitas hijau yang kurang tepat atau greenwashing.

Baca juga: OJK pacu pengembangan instrumen keuangan hijau

Agus mengatakan Taksonomi Hijau Indonesia ini masih berada di edisi 1.0 sehingga nantinya ketentuan dan panduan di dalamnya masih bisa berkembang tergantung perkembangan teknologi dan perubahan iklim.

“Kami mendesain Taksonomi Hijau ke dalam ke skala lima yaitu kira-kira apa kriteria atau apa sertifikasi yang dibutuhkan agar suatu sektor atau subsektor itu bisa menjadi green sector,” ujarnya.

Selain itu dengan adanya Taksonomi Hijau maka OJK akan bekerja sama dengan Bank Indonesia untuk membentuk pelaporan yang lebih hijau atau green reporting.

Langkah itu dilakukan agar laporan bulanan dari lembaga jasa keuangan nantinya juga memasukkan angka-angka mengenai green financing.

“Ini penting karena di global saat ini sudah bicara risk management untuk climate related financial risk,” tegasnya.

Ia menegaskan risk management tersebut hanya dapat didesain ketika sudah mengetahui besar magnitude dari green financing atau non-green financing.

“Kalau kita sudah mengetahui magnitude-nya maka kita bisa mendesain insentif atau disinsentif nya. Kalau sekarang kan kita masih bingung sebenarnya ada berapa banyak yang green financing,” jelasnya.

Baca juga: Ketua Perbanas nilai pandemi dongkrak penerbitan ESG Bonds

Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2022