TTU adalah salah satu daerah perbatasan dan kami berkepentingan untuk membangun sesuatu yang baik dan bermanfaat untuk kepentingan masyarakat umum.
Kupang (ANTARA News) - Warga Desa Naiola, Kecamatan Bikomi Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Nusa Tenggara Timur (NTT) menolak pembangunan terminal internasional lintas negara antara Republik Indonesia--Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) yang dibangun Kementerian Perhubungan RI.

Penolakan warga yang nyaris ricuh itu berlangsung saat pelaksanaan peletakan batu pertama pembangunan terminal lintas negara oleh Gubernur NTT, Frans Lebu Raya, Sabtu.

Warga setempat mengaku tanah tempat lokasi pembangunan terminal antarnegara tersebut, merupakan tanah milik dengan status hak ulayat, tetapi sebaliknya diklaim Pemerintah Daerah TTU sebagai tanah milik pemerintah daerah.

Kepala Suku Funan-Oepahala, Theodorus Funan, mengatakan, pembangunan terminal internasional ini ilegal, karena dibangun di atas tanah ulayat milik suku Funan-Oepahala.

Menurut dia, Pemerintah Daerah TTU tidak memiliki lahan di lokasi tempat pembangunan terminal antarnegara tersebut, yang berlokasi di kilometer (km) 9. Karenanya, pemerintah diminta tidak melanjutkan pelaksanaan pembangunan terminal internasional antarnegara tersebut.

Theodorus mengaku, Pemerintah TTU telah membohongi warga, dan mengklaim lahan pembangunan terminal internasional seluas empat hektar itu adalah tanah Pemda.

"Kita sudah dibohongi berulang kali oleh pemerintah daerah," kata Theodorus.

Bupati TTU, Raymundus Fernandez yang dihubungi secara terpisah mengatakan, lahan itu sudah diserahkan ke pemerintah untuk dijadikan sebagai kawasan hutan.

Lahan itu, kata Raymundus, oleh pemerintah daerah sudah diusulkan untuk tukar guling ke Kementerian Kehutanan seluas 850 ha, dan izin prinsip dari Kementerian Kehutanan sudah ada di pemerintah daerah untuk pembangunan fasilitas umum.

Karena itu, pemerintah memanfaatkan lahan itu membangun terminal internasional.

"Tanah itu sudah dihibahkan ke pemda untuk pembangunaan fasilitas umum," katanya.

Gubernur NTT, Frans Lebu Raya, pada kesempatan itu meminta kepada warga dan Pemerintah Daerah TTU untuk menyelesaikan masalah ini secara baik, sehingga tidak mengorbankan kepentingan umum. "Saya berharap pemerintah daerah dan warga bisa duduk bersama untuk menyelesaikan persolan itu," pintanya.

Kementerian Perhubungan mengalokasikan anggaran selama tiga tahun berturut-turut sejak 2011-2013 sebesar Rp24 miliar untuk pembangunan terminal lintas batas di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU).

Tahun 2011, Kementerian Perhubungan mengalokasikan anggaran sebesar Rp4 miliar, 2012 sebesar Rp10 miliar, dan 2013 juga sebesar Rp10 miliar.

Sebelumnya, Sekretaris Dinas Perhubungan NTT, Stef Ratu Udju, mengatakan, pelaksanakan pembangunan terminal internasional di Kabupaten TTU tetap dilakukan, kendati masih terjadi penolakan oleh warga di lokasi pembangunan tentang status tanahnya.

Dia mengatakan, saat ini sedang terjadi sengketa antara Pemerintah Kabupaten TTU dan keluarga Bana.

Sengketa tanah antara Pemerintah Kabupaten TTU dengan keluarga Bana pimpinan Pius Bana masih berlanjut. Keluarga Bana mengklaim lokasi tersebut sebagai tanah hak ulayat milik Suku Bana.

Ia mengatakan, lokasi tempat pembangunan terminal lintas negara itu adalah bagian dari tanah milik Departemen Kehutanan yang prosesnya sudah dilakukan antara Pemkab TTU dengan Departemen Kehutanan. Luasnya mencapai 832 ha, katanya.

Stef Ratu Udju menambahkan, perjuangan untuk mendapat alokasi anggaran dari APBN bagi pembangunan terminal antarnegara ini bukan hal yang mudah.

Menurut dia, apa yang dilakukan Pemerintah NTT adalah bagian dari upaya pemerintah pusat dan daerah untuk membangun infrastruktur di wilayah perbatasan.

"TTU adalah salah satu daerah perbatasan dan kami berkepentingan untuk membangun sesuatu yang baik dan bermanfaat untuk kepentingan masyarakat umum," katanya.

(ANT-295)(M012)

Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2011