Bangkok (ANTARA News/AFP) - Dengan adik perempuannya hampir berkuasa, mantan perdana menteri Thailand Thaksin Shinawatra melancarkan taruhan tinggi dunia, yang pengulas katakan mengancam sekutunya di kekuasaan.

Hartawan itu, yang digulingkan dalam kudeta pada 2006, membayangi dua minggu pertama pemerintahan Yingluck Shinawatra dengan rencana perjalanan ke Jepang, yang mengangkat pertanyaan tentang pengaruhnya atas pemerintah tersebut.

Thaksin, yang tinggal di luar negeri untuk menghindari hukuman dua tahun penjara atas korupsi, membuat marah lawan dengan rencana lawatannya, yang dijadwalkan berlangsung pada 22-28 Agustus, yang mencakup kunjungan ke daerah hancur oleh gempa dan tsunami pada 11 Maret.

Ddengan didorong kemenangan "bermasalah" dalam pemilihan umum, Thaksin bertujuan mengirim pesan bahwa ia perdana menteri sebenarnya, kata Pavin Chachavalpongpun, pakar Thailand di Lembaga Kajian Asia Tenggara di Singapura.

Tapi, Pavin menyatakan taipan itu bergerak terlalu cepat dan elit tradisional serta tentara akan menyerang balik.

Jenderal dan hakim Thailand memiliki catatan campur tangan dalam politik, terutama terhadap Thaksin, yang dicintai banyak warga miskin Thailand, tapi dilihat elit berpusat di Bangkok sebagai penguasa lalim dan ancaman bagi kerajaan.

Dua partai Thaksin dibubarkan pengadilan pada masa lalu dan terdapat 18 percobaan atau kenyataan kudeta sejak Thailand menjadi kerajaan berkonstitusi pada 1932.

Penggullingan Thaksin oleh jenderal pendukung kerajaan menghasilkan lima tahun kemelut politik di parlemen dan jalanan Thailand, tempat musuh dan pendukungnya melumpuhkan unjukrasa pesaingnya.

Ujungnya ialah unjuk rasa Baju Merah pengikut Thaksin pada tahun lalu, saat lebih dari 90 orang tewas dalam bentrok antara tentara dengan pengunjuk rasa.

Ilmuwan politik di universitas Chulalongkorn Thailand, Thitinan Pongsudhirak, menyatakan keterburu-buruan Thaksin kembali ke pusat perhatian "memancing dan tidak cerdas jika ia ingin adiknya memunyai kesempatan".

Memerintah dalam masa bakti empat tahun penuh di Thailand adalah pengecualian daripada sekedar berkuasa -Thaksin satu-satunya Perdana Menteri terpilih, yang dapat melakukannya- dan Thitinan menyatakan musuh kuat dapat menyingkirkan partainya dari kekuasaan di negeri itu.

Tekanan hukum meningkat terhadap pemerintah Yingluck, pemula politik, yang digambarkan kakaknya sebagai salinannya dan mengangkat gagasan tentang ampunan untuk narapidana politik.

Hanya beberapa hari setelah pemilihan umum itu, partai Demokrat melancarkan upaya hukum membubarkan partai Puea Thai-nya dengan alasan politisi terlarang, seperti, Thaksin, terlibat dalam kampanyenya.

Partai Demokrat dukungan elit pada pekan lalu mengajukan keluhan ke polisi dengan menuduh Menteri Luar Negeri Surapong Tovichakchaikul secara gelap membantu Thaksin.

Sementara pemerintah Yingluck membantah membuat visa khusus untuk Thaksin, Tokyo menyatakan Thailand memintanya mengijinkan mantan pemimpin itu masuk, membuat pengecualian pada aturan masuknya tentang narapidana kejahatan.

Kesediaan Yingluck membantu kakaknya pergi ke Jepang menjadi "peluru" bagi Demokrat untuk menyerang pemerintah itu, kata Paul Chambers, peneliti kawakan di universitas Payap di Thailand utara.

Pemerintah juga berencana mengubah undang-undang dasar, yang disusun penguasa pada pasca-kudeta 2007, yang Chambers katakan untuk membebaskan Thaksin dari tuduhan sebelumnya dan membuka jalan bagi kepulangannya ke Thailand.

"Jika perubahan besar dibuat dan Thaksin kembali, perubahan tersebut akan terjadi di tengah peningkatan unjuk rasa menentang Thaksin dan amarah di jajaran tentara pimpinan penentang Thaksin," katanya.

Upaya membantu Thaksin dapat menyebabkan tekanan pada pengadilan untuk menyelidiki tuduhan tidak pantas atas pemerintah Yingluck kemungkinan memicu penggulingannya oleh peradilan, tambah Chambers.

Pemerintah pimpinan Demokrat sebelumnya menuduh buron mendanai unjuk rasa Baju Merah pada 2010 dan menghasut kerusuhan serta pengadilan Thailand pada tahun lalu memerintahkan penangkapannya atas tuduhan terorisme.

(B002/H-AK) 

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011