Tangkapan layar - Presiden Rusia Vladimir Putin berbicara tentang otorisasi operasi militer khusus di wilayah Donbass Ukraina selama pidato televisi khusus di TV pemerintah Rusia, di Moskow, Rusia, 24 Februari 2022. ANTARA/Russian Pool/via REUTERS TV/pri. (via REUTERS/RUSSIAN POOL)


Sakit kehilangan imperium

Putin juga menunjuk minoritas Rusia di Ukraina timur sebagai alasan menginvasi Ukraina. Alasan ini mirip dengan Adolf Hitler ketika menyinggung Sudetenland yang kemudian mendasari pendudukan Cekoslovakia oleh Nazi Jerman pada 1939 yang turut menjadi prolog bagi pecahnya Perang Dunia Kedua.

Hitler menunjuk warga keturunan Jerman di perbatasan Cekoslovakia-Jerman di Sudetenland itu sebagai komunitas yang harus dilindungi Nazi Jerman dan oleh karena itu menduduki Cekoslovakia adalah sah.

Kini, apa yang terjadi Ukraina juga menimbulkan kegelisahan internasional serupa.

Sebagian besar kalangan dunia, termasuk Indonesia, mungkin tak akan pernah merasakan kengerian negara-negara yang berbatasan dengan Rusia.

Bukan saja negara-negara eks Blok Timur, khususnya Polandia dan Rumania, tapi juga negara-negara eks Soviet di Baltik (Estonia, Latvia dan Lithuania), atau Moldova dan Belarus sendiri di Eropa Timur, atau Georgia dan Azerbaijan di Kaukasus, atau bahkan negara-negara eks Soviet di Asia Tengah, termasuk Kazakhstan yang belum lama ini diguncang protes massa.

Rusia selalu beralasan perluasan NATO telah mengusik rasa amannya sehingga adalah wajar jika mereka menghalangi tetangga-tetangganya untuk bergabung dengan pakta pertahanan Atlantik Utara itu atau Uni Eropa.

Tapi menurut Marko Mihkelson yang ketua Komisi Hubungan Luar Negeri Parlemen Estonia, "Rusia tak terprovokasi perluasan NATO, melainkan oleh rasa sakit karena kehilangan imperium totaliternya dan menyaksikan keberhasilan bekas vasal-vasalnya dalam membangun demokrasi dan masyarakat bebas. Dan itu menjadi ancaman paling nyata terhadap rezim otoriter di Rusia."

Baca juga: Khodorkovsky: Perang Putin di Ukraina demi keuntungan pribadi

Apa yang dilakukan Putin sendiri mungkin bisa mendorong negara-negara besar lain yang memiliki postur militer, ekonomi dan politik besar melakukan hal sama dengan Rusia.

Sulit memupus kekhawatiran bahwa krisis Ukraina itu menjadi preseden untuk aksi serupa di wilayah-wilayah lain yang selama ini disengketakan negara besar, termasuk mungkin Laut China Selatan.

Apalagi negara-negara besar itu memiliki kuasa mementahkan setiap prakarsa internasional dalam menghukum negara yang melanggar kedaulatan negara lain, mengingat status istimewa mereka sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang bisa memveto upaya dunia dalam menegakkan keadilan dan perdamaian.

Oleh sebab itu, karena melanggar prinsip perdamaian, kedaulatan nasional, dan integritas teritorial sebuah negara merdeka, dan kemungkinan menciptakan preseden buruk, maka invasi Rusia haruslah dikutuk.

Putin harus diseru agar menarik pasukannya dari Ukraina dan menghormati kedaulatan Ukraina.

Seruan itu sendiri sudah disuarakan warga Rusia ketika sehari setelah invasi itu, pecah demonstrasi antiperang di 50 kota di Rusia. Buntutnya, menurut lembaga pemerhati OVD-Info, 2.000-an orang ditangkap, sementara aparat keamanan dalam jumlah besar diturunkan di Moskow, St. Petersburg, Yekaterinburg dan Novosibirsk.

Baca juga: Kiev dilanda kekacauan saat Rusia serang Ukraina
Baca juga: Pasukan Rusia terus bergerak di Ukraina, Zelenskiy minta bantuan

Selanjutnya: invasi harus dihentikan

Copyright © ANTARA 2022