Jakarta (ANTARA) - Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi mengatakan kebijakan menaikkan harga BBM nonsubsidi merupakan keputusan tepat dan cermat untuk mengurangi beban APBN tanpa memicu inflasi dan memperburuk daya beli masyarakat.

"Proporsi konsumen kecil dan Pertamax tidak digunakan transportasi, sehingga tidak secara langsung menaikkan biaya distribusi yang memicu kenaikan harga-harga kebutuhan pokok yang memicu inflasi dan memperburuk daya beli rakyat," ujarnya dalam keterangan di Jakarta, Jumat.
 
Pemerintah Indonesia melalui PT Pertamina (Persero) telah menaikkan kembali harga BBM nonsubsidi jenis Pertamax Turbo, Pertamax Dex, dan Dexlite pada 3 Maret 2022.
 
Kebijakan menaikkan harga BBM nonsubsidi itu merupakan respon negara terhadap kenaikan harga minyak mentah dunia yang kini telah menembus angka di atas 100 dolar AS per barel.

Baca juga: Menkeu: Realisasi subsidi energi hingga November naik 15,7 persen
 
Tahun ini, Pertamina telah dua kali menaikkan harga BBM nonsubsidi dalam kurun waktu tak sampai sebulan, yakni pada 12 Februari 2022 dan berlanjut pada 3 Maret 2022.
 
Produk Pertamax Tubro (RON 98) kini dijual Rp14.500 per liter, Pertamina Dex (CN 53) menjadi Rp13.700 per liter, dan Dexlite (CN 51) menjadi Rp12.950 per liter untuk wilayah DKI Jakarta atau daerah dengan besaran pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB) 5 persen.
 
Pada 12 Februari 2022, harga Pertamax Turbo dijual Rp13.500 per liter, Pertamina Dex Rp13.200 per liter, dan Dexlite pada harga Rp12.150 per liter.
 
Sebelumnya, harga Pertamax Turbo hanya dijual Rp12.000 per liter, Dex Rp 11.050 per liter, dan Dexlite Rp9.500 per liter.
 
Artinya, Pertamina telah menaikkan harga BBM nonsubsidi sebanyak Rp2.500 sampai Rp3.450 per liter melalui kenaikan dua kali yang dilakukan pada kuartal I 2022.
   
Fahmy menyampaikan bahwa kenaikan harga minyak dunia saat ini membuat Indonesia rugi karena Indonesia merupakan negara pengimpor minyak.
 
Menurutnya, semakin tinggi kenaikan harga minyak dunia, maka beban APBN akan semakin berat.
 
"Beban APBN itu untuk memberikan kompensasi pada saat Pertamina menjual BBM di bawah harga keekonomian. Kalau tidak ada kenaikan harga BBM di dalam negeri beban APBN semakin berat," kata Fahmy.
 
Lebih lanjut ia mengungkapkan bahwa kebijakan menaikkan harga BBM merupakan keputusan yang dilematis bagi pemerintah karena kenaikan harga BBM berpotensi menaikkan inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat.
 
Selain menaikkan harga BBM nonsubsidi, kata Fahmy, pemerintah perlu menaikkan harga secara selektif dengan menghapus produk Premium dan tidak menaikkan harga Pertalite.
 
"Akhirnya, Pertamina menaikkan harga BBM nonsubsidi. Kebijakan menaikkan harga BBM selektif merupakan keputusan yang tepat dan cermat untuk mengurangi beban APBN, tanpa memicu inflasi, dan memperburuk daya beli rakyat," pungkasnya.
 
Sebelumnya, Kementerian ESDM menyatakan bahwa kenaikan harga minyak dunia akibat konflik geopolitik Rusia dengan Ukraina berdampak terhadap beban subsidi, terutama produk BBM dan elpiji yang nilai subsidinya bisa melebihi asumsi APBN 2022.
 
Setiap kenaikan satu dolar AS per barel berdampak kepada kenaikan subsidi elpiji sekitar Rp1,47 triliun, subsidi minyak tanah sekitar Rp49 miliar, dan beban kompensasi BBM lebih dari Rp2,65 triliun.
 
Dalam postur APBN 2022, nilai subsidi BBM dan elpiji tiga kilogram mencapai Rp77,5 triliun. Namun, penetapan angka subsidi itu saat harga minyak Indonesia masih berada pada angka 63 dolar AS per barel, sedangkan harga minyak brent telah mencapai 97,93 dolar AS per barel.

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2022