akar permasalahan kelangkaan minyak goreng ini adalah karena tingginya disparitas antara harga DPO, HET, dan harga pasar. Disparitas harga itu berkisar antara Rp8.000 sampai Rp9.000
Jakarta (ANTARA) - Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika menyebutkan akar masalah dari kelangkaan minyak goreng di pasaran saat ini karena adanya disparitas harga antara kebijakan domestic price obligation (DPO) yang ditetapkan oleh pemerintah, harga eceran tertinggi, dan harga pasar.

Yeka dalam konferensi pers yang dipantau secara daring di Jakarta, Selasa, mengemukakan bahwa harga DPO sebesar Rp9.300 untuk CPO di dalam negeri dan HET minyak goreng curah Rp14 ribu per liter, dan harga di pasar tradisional yang masih tinggi sekitar Rp20 ribu hingga Rp30 ribu per liter menimbulkan kelangkaan.

Kelangkaan tersebut, kata Yeka, diduga akibat dari spekulan yang bermain baik berupa penyelundupan ataupun penimbunan minyak goreng.

"Ombudsman melihat bahwa akar permasalahan kelangkaan minyak goreng ini adalah karena tingginya disparitas antara harga DPO, HET, dan harga pasar. Disparitas harga itu berkisar antara Rp8.000 sampai Rp9.000, jadi bisa dibayangkan disparitas ini memunculkan hal-hal yang jadi penyebab yang disampaikan sebelumnya," kata Yeka.

Berdasarkan pemantauan Ombudsman di 274 pasar seluruh Indonesia, kata Yeka, harga minyak goreng yang sesuai dengan HET yaitu maksimal Rp14 ribu per liter untuk kemasan premium bisa ditemui di pasar atau ritel modern, namun dengan jumlah yang terbatas atau bahkan langka.

Sementara harga minyak goreng curah, kemasan modern, dan kemasan premium bisa ditemui di pasar tradisional namun dengan harga yang jauh di atas HET pemerintah.

"Ada dugaan terhadap spekulan yang memanfaatkan kondisi disparitas harga yang sangat besar antara HET dengan harga pasar tradisional yang sulit diintervensi. Jadi seperti diketahui kalau pasar modern ini bisa diintervensi, kalau pasar tradisional tidak bisa diintervensi karena pelakunya sangat banyak, dan aktivitas spekulan ini juga yang memunculkan dugaan terjadinya penyelundupan minyak goreng," kata Yeka.

Menurut Kementerian Perdagangan, para pelaku usaha eksportir CPO di Indonesia telah mematuhi kebijakan Domestic Mandatory Obligation (DMO) untuk mengalokasikan 20 persen CPO total ekspor, yang kini diubah menjadi 30 persen, untuk kebutuhan dalam negeri yaitu produksi minyak goreng.

Namun faktanya di lapangan masih terdapat kelangkaan di masyarakat dan menyebabkan harganya tetap tinggi di beberapa pasar tradisional.

Baca juga: Kapolri dan Mendag tinjau ketersediaan minyak goreng di pasaran
Baca juga: DPR akan panggil paksa Mendag jelaskan kelangkaan minyak goreng
Baca juga: Minyak goreng di Kalsel makin langka

Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2022