Denpasar (ANTARA) - Bukan sekadar buku. Ya, buku "Linimasa Pewarta Foto Kantor Berita", karya pewarta foto Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA Audy Mirza Alwi, bukan sekadar buku, apalagi sekadar buku yang berisi foto-foto dari rentetan peristiwa.

Kendati ada kisah "perjalanan" Audy Mirza Alwi "menjadi" pewarta foto hingga editor foto LKBN ANTARA (1990-2020) dan foto-foto human interest, liputan Istana Kepresidenan RI, olahraga, seni budaya, ekonomi, sosial, politik, demo, maupun foto ajang pariwisata, namun buku setebal 158 halaman ini ibarat "museum" sejarah foto dan kantor berita negeri ini.

Buku yang diterbitkan Penerbit Bumi Aksara Jakarta, dengan editor Priyambodo RH serta ada sambutan mantan Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi LKBN ANTARA Parni Hadi dan catatan dari pewarta/kurator foto Oscar Motuloh itu, agaknya menjadi "museum" bagi Audy untuk "berkisah" tentang profesi, kantor berita, dan fotografi.

Profesi itu menjadi "sejarah" setelah dirinya lulus dari Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Prof. Dr. Moestopo, lalu melamar dan mengikuti tes tertulis di Gedung Lembaga Pendidikan Jurnalistik ANTARA (LPJA) Pasar Baru, Jakarta, 17 April 1989, dengan peserta 299 orang pelamar. (halaman 3).

Satu bulan kemudian, Mei 1989, Audy mendapat pemberitahuan bahwa ia dan empat pelamar lainnya dinyatakan lulus tes tertulis dan harus mengikuti tes wawancara, tes berbicara dalam bahasa Inggris, dan tes kesehatan di RSPAD Gatot Subroto Jakarta.

Akhirnya, keempatnya harus menjalani pendidikan Kursus Dasar Jurnalistik Foto (Susdafo) ANTARA selama tujuh bulan. Audy lulus bersama empat rekan seangkatannya, yaitu Agus Baharuddin, Aris Budiman, Hermanus Prihatna dan Yayat S. Soelaeman. (halaman 4).

Audy dan tiga rekannya calon wartawan foto, merupakan generasi pertama wartawan foto ANTARA yang mendapat pendidikan lengkap, tidak hanya mendapat pelatihan dan pendidikan teori dan praktik fotografi, tetapi juga memperoleh pendidikan ilmu jurnalistik secara luas.

Dari sini, Audy mulai bercerita tentang bagaimana dirinya dan rekan-rekannya belajar teknik menulis berita, wawancara, editing, riset sebelum menulis berita, hukum pers, opini publik, dan Bahasa Indonesia Jurnalistik.

Ia juga belajar pengetahuan fotografi, termasuk pengenalan kamera, lensa, teknik memotret, teknik mencuci film dan mencetak foto (teknik kamar gelap). (halaman 5).

Tahun 1989, Biro Foto ANTARA masih menggunakan film hitam putih untuk memotret, dan wartawan foto mencuci dan mencetak foto sendiri dengan alat enralger, kemudian foto dikirimkan ke seluruh media massa (koran) di seluruh Indonesia. Foto karya pertamanya tentang penumpang motor membawa kurungan ayam pun dikutip Kompas. (halaman 10).

Setelah menjalani Susdafo, Audy dan tiga rekannya menjadi tulang punggung Biro Foto ANTARA. Kehadiran generasi pertama wartawan foto terdidik dan memiliki wawasan jurnalistik itu menjadikan foto-foto produksi ANTARA menjadi bervariasi. Audy sendiri lebih suka foto human interest.

Foto-foto itu mulai dari foto features, human interest, foto lomba dan pertandingan olahraga, aksi-demo, pementasan seni budaya, lingkungan dan foto kehidupan sehari-hari. Bahkan, foto seremonial pun angle-nya lebih menarik, bukan hanya "Saltan Gong" (salaman, tanda tangan, dan pemukulan gong). (halaman 6-18)

Tidak hanya itu, perjalanan karirnya sebagai wartawan foto ANTARA, dengan tugas-tugas liputan besar dan penting, ikut mewarnai perjalanan hidupnya, mulai dari liputan ajang internasional bulutangkis Piala Thomas dan Piala Uber di Kuala Lumpur (1992) dan pesta olahraga multi-event Bangsa-bangsa Asia Tenggara (SEA Games) di Singapura (1993). (halaman 19-23).

Tahun 1993 menjadi titik penting perjalanannya sebagai wartawan foto, ketika Audy mendapat tugas sebagai wartawan foto di Istana Kepresidenan RI. Sebagai wartawan istana, Audy memiliki pengalaman sangat banyak, karena mengalami masa-masa pemerintahan Presiden Soeharto, BJ Habibie, Gus Dur, Megawati Soekarnoputri, hingga Susilo Bambang Yudhoyono.

Penugasan sebagai wartawan Istana Kepresidenan RI juga membuatnya bisa menjelajahi berbagai negara, mengikuti kunjungan kenegaraan, termasuk meliput Konferensi Tingkat Tinggi Kerja Sama Ekonomi Negara-negara Asia Pasifik (APEC) di Manila (1996), Bandar Seri Begawan (2000), dan Bangkok (2003).

Sebagai wartawan istana, Audy juga memiliki kesempatan langka meliput pemakaman Ibu Tien Soeharto (1996), peristiwa lengsernya Soeharto di Istana Merdeka pada 21 Mei 1998, termasuk pelantikan BJ Habibie, Gus Dur, Megawati Soekarnoputri dan Soesilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden RI. (halaman 57-76).


Perkembangan fotografi

Buku "Linimasa Pewarta Foto Kantor Berita" bukan hanya bercerita tentang wartawan foto dan kantor berita, tetapi juga tentang perkembangan dunia fotografi dari perlengkapan dan peralatan kamera, flash, lensa dan mesin pengirim foto jarak jauh. (halaman 24-29).

Audy memiliki pengalaman memotret yang lengkap, mulai dengan kamera manual dan lensa 50 MM sampai memotret dengan kamera canggih yang mampu mengambil 10 foto atau 20 foto lebih per detik.

Karenanya, ia memiliki pengalaman menggunakan film gulungan hitam putih, teknik kamar gelap, mencuci hingga mencetak foto sendiri, hingga penggunaan film dalam bentuk digital.

Ada juga cerita perkembangan kecanggihan kamera yang dilengkapi berbagai fitur, misalnya self timer, interval timer, long exposure timer, exposure count, termasuk framing object, pengaturan resolusi, aspek rasio, titik fokus, review dan berbagai fitur pendukung lain.

Tak lupa pula cerita tentang perkembangan lensa, mulai dari lensa makro, fix-lens, tele-lens, zoom-lens, bahkan wide-lens hingga 16 MM, dengan pengaturan cahaya otomatis.

"Dengan berkembangnya jenis-jenis lensa, kemampuan wartawan foto untuk memotret objek pun menjadi lebih baik dan mampu menghasilkan foto-foto lebih berkualitas dan lebih tajam, dan teknik-teknik memotret pun semakin berkembang," kata Audy.

Audy juga bercerita pengalamannya mengirim foto dari helikopter, bus kota yang ramai, dan sebagainya. "Waktu pengiriman foto bisa cepat atau lambat, tergantung jenis kamera. Dengan Nikon NT-1000 bisa 5-10 menit, dengan UPI 16-S bisa 9-10 menit untuk hitam putih dan foto warna bisa 25-30 menit," katanya. (halaman 24-27).

Lewat bukunya, Audy juga bercerita mengenai perkembangan Biro Foto ANTARA sebagai satu unit kerja yang menjadi bagian dari Redaksi ANTARA yang memproduksi foto-foto berita untuk para pelanggan. Bukan hanya pelanggan media massa, tetapi juga perusahaan dan perorangan.

Perkembangan Biro Foto ANTARA dapat dikatakan menjadi kisah penting tersendiri dalam buku ini, karena keberadaannya mampu mewarnai sejarah perkembangan fotografi Indonesia, serta menjadi penyedia produk foto dalam dan luar negeri (Reuters dan AFP).

Selain itu, Biro Foto ANTARA juga memiliki Lembaga Pendidikan Jurnalistik (LPJA) dan Galeri Foto Jurnalistik (GFJA). LPJA merupakan institusi pendidikan dalam upaya meningkatkan kualitas dan wawasan para wartawan, wartawan foto, dan staf kehumasan, sedangkan GFJA untuk meningkatkan apresiasi masyarakat Indonesia terhadap karya seni foto jurnalistik. (46-50).

Hal itu tak lepas dari penggagas GFJA Oscar Motuloh, yang memimpikan ANTARA memiliki kantor berita foto sekaliber Press Photo Service atau IPPHOS yang didirikan kakak-beradik Alexius Impurung Mendur dan Frans Soemarto Mendur pada tahun 1946, atau Magnum Photos yang berdiri tahun 1947, atau Black Star (Photo Agency) yang berkecimpung di foto jurnalistik dunia sejak tahun 1935.

Alex dan Frans, pendiri IPPHOS, adalah fotografer jurnalistik Indonesia yang mengabadikan momen Proklamasi Kemerdekaan RI. Foto-foto mereka menjadi satu-satunya yang diterbitkan dari peristiwa bersejarah tersebut. Tak hanya mengabadikan momen langka tersebut, keduanya juga mengabadikan foto ikonik lainnya terkait perjuangan bangsa Indonesia.

Dalam catatan pengantarnya dalam buku "Linimasa" karya Audy itu (halaman xiv), Oscar mencatat Audy sempat berkiprah di Divisi Mandiri Pemberitaan Foto ANTARA yang diimpikan, namun divisi itu kini kembali menjadi Desk/Redaksi Foto ANTARA. (halaman 77-92).

"Kebanyakan buku karya fotografer menampilkan foto-foto indah tentang teknis memotret atau foto peristiwa. Tapi, buku karya fotografer Audy Mirza Alwi ini menjelaskan tentang sejarah, sejarah kantor berita dengan pemberitaan fotonya, juga tentang foto jurnalistik," ucap Direktur Hubungan Kelembagaan Bank Mandiri, Rohan Hafas.

Hal itu juga dibenarkan Staf Ahli Kemenhub Aditia Irawati. "Membaca buku mas Audy Mirza bak membaca buku sejarah, bukan hanya tentang sebuah kantor berita, tapi juga tentang foto jurnalistik itu sendiri," katanya.

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2022